Sabtu, 14 September 2019 21:38

Bikin Petisi, Koalisi Masyarakat Sipil Sulsel Tegas Tolak Revisi UU KPK

Alief Sappewali
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Herman, salah seorang inisiator petisi penolakan revisi UU KPK.
Herman, salah seorang inisiator petisi penolakan revisi UU KPK.

Penolakan terhadap revisi UU KPK kian keras. Sejumlah elemen yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Sulsel bahkan membuat petisi penolakan.

RAKYATKU.COM - Penolakan terhadap revisi UU KPK kian keras. Sejumlah elemen yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Sulsel bahkan membuat petisi penolakan.

Salah seorang inisiator, Herman mengatakan, hak inisiatif DPR di akhir masa jabatan ini telah mengusik kesadaran publik dalam upaya pemberantasan korupsi yang lebih progresif.

Dalam revisi ini, kata dia, terlalu banyak norma yang justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi oleh KPK.

Setidaknya ada lima poin yang membuat Koalisi Masyarakat Sipil Sulsel menolak dengan tegas revisi UU KPK, sebagai berikut:
 
1. Revisi UU mencantumkan ketentuan tentang pembentukan Dewan Pengawas bagi KPK oleh DPR atas usulan Presiden. Keberadaan Dewan Pengawas ini bisa melumpuhkan sistem kolektif kolegial dalam pengambilan keputusan di KPK.

2. Tidak boleh ada penyidik independen. Personel penyidik KPK hanya diperbolehkan dari kepolisian, kejaksaan dan penyidik pegawai negeri sipil sehingga tidak memungkinkan untuk adanya penyidik independen dari KPK.
  
3. Untuk penyadapan, KPK harus ada izin tertulis. Setelah dapat izin, KPK hanya mendapatkan waktu selama tiga bulan.
   
4. KPK dilarang menangani kasus yang meresahkan publik.

5. KPK diperbolehkan menghentikan penyidikan dan penuntutan. Padahal, salah satu keistimewaan KPK bahwa kasus yang telah ditangani tidak boleh dihentikan. Penghentian penyidikan dan penuntutan akan membuka peluang untuk adanya intervensi dari berbagai lembaga. Lembaga KPK menjadi tidak ada bedanya dengan kepolisian dan kejaksaan.

Selain substansi norma pengaturan tersebut di atas, proses pengajuan hak inisiatif revisi UU KPK ini sangat dipaksakan oleh DPR di akhir masa jabatan. 

Beberapa ketentuan yang seharusnya terpenuhi, oleh DPR telah mengabaikannya, antara lain:

1. Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa penyusunan RUU dilakukan berdasarkan Prolegnas. Revisi UU KPK tidak masuk dalam daftar Prolegnas.

2. Usulan revisi UU KPK bentuk inkonsistensi DPR terhadap aturan yang mereka susun sendiri, yaitu Tata Tertib DPR RI khususnya Pasal 65 huruf d yang menyatakan Badan Legislasi bertugas menyiapkan dan menyusun rancangan undang-undang usul Badan Legislasi dan/atau anggota Badan Legislasi berdasarkan program prioritas yang sudah ditetapkan.

3. Pasal 65 huruf f Tata Tertib DPR disebutkan bahwa Badan Legislasi bertugas memberikan pertimbangan terhadap RUU yang diajukan oleh anggota DPR, komisi, atau gabungan komisi di luar prioritas RUU atau di luar RUU yang terdaftar dalam program legislasi nasional, untuk dimasukkan dalam program legislasi nasional perubahan. 

4. Tidak ada relevansi urgensi revisi UU KPK terutama dalam pemenuhan kebutuhan dalam masyarakat, karena publik dan KPK sendiri tidak pernah mengajukan untuk melakukan revisi. Keberadaan UU KPK selama ini masih sangat relevan dalam mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi KPK.

Rencananya, petisi menolak revisi UU KPK ini akan ditandatangani secara massa pada Senin, 16 September 2019.