Selasa, 06 Agustus 2019 10:02

Soal Ijtima Ulama IV, PDIP: Sebaiknya Ulama Stop Politik

Ibnu Kasir Amahoru
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Ist.
Ist.

Ijtima Ulama IV yang digelar di Hotel Lorin Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, telah berakhir

RAKYATKU.COM - Ijtima Ulama IV yang digelar di Hotel Lorin Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, telah berakhir. Perhelatan tersebut menghasilkan delapan poin keputusan.

Terkait hasil Ijtima Ulama itu, Sekretaris Badan Pendidikan dan Latihan DPP PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari mengatakan, ulama yang ikut dalam kegiatan Ijtima IV sebaiknya mengakhiri gerakan politiknya. 

"Pileg dan pilpres udah kelar, sebaiknya ulama stop politik, balik ke urusan pokok menata akhlak umat termasuk akhlak mematuhi hukum dan menjadi warga negara yang baik," kata Eva, Selasa (6/8/2019).

Eva meminta agar ulama menjadi contoh yang baik bagi umat dan masyarakat secara umum. Ia juga menyinggung keberadaan eks Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto dalam Ijtima Ulama IV.

"Ulama-ulama harus kasih contoh, termasuk tidak undang tokoh HTI organisasi politik yang ilegal," tandasnya.

Eva heran mengapa Ijtima Ulama IV diselenggarakan. Ia menilai kegiatan tersebut bertujuan politis. Padahal, Prabowo Subianto yang pernah didukungnya sudah legawa menerima kekalahan di Pilpres 2019.

"Tapi sebaiknya ijtima tidak perlu diadakan karena tujuannya politik, apalagi pak PS yang didukung udah legowo, tunggu lima tahun lagi saja lah yang sabar," tukasnya.

Berikut Putusan Ijtimak Ulama dan Tokoh Nasional IV

1. Menolak kekuasaan yang berdiri atas dasar kecurangan dan kedzaliman serta mengambil jarak dengan kekuasaan tersebut.

2. Menolak segala putusan hukum yang tidak memenuhi prinsip keadilan.

3. Mengajak seluruh ulama dan umat untuk terus berjuang dan memperjuangkan
3.1. Penegakan hukum terhadap penodaan agama apapun oleh siapapun sesuai amanat undang-undang antipenodaan agama dan tertuang dalam Tap MPRS Nomor 1 tahun 1995 juncto UU Nomor 5 tahun 1999, juncto pasal 156 a.

3.2. Mencegah bangkitnya ideologi marxisme, leninisme, komunisme, maoisme dalam bentuk apapun dan cara apapun. Sesuai amanat Tap MPRS nomor 28 Tahun 196,6 UU Nomor 27 tahun 1999 juncto KUHP pasal 1, 107 a, 107 b, 107 c, 107 d, dan 107 e.

3.3. Menolak segala bentuk perwujudan tatanan ekonomi kapitalisme dan liberalisme di segala bidang, termasuk penjualan aset negara kepada asing maupun aseng. Dan memberikan kesempatan pada semua pribumi tanpa memandang suku maupun agama untuk menjadi tuan di negeri sendiri.

3.4. Pembentukan tim investigasi dan advokasi untuk mengusut tuntas tragedi 2019 yang terkait kematian lebih dari 500 petugas pemilu tanpa otopsi dan lebih dari sebelas ribu petugas pemilu yang jatuh sakit serta ratusan rakyat yang terluka, ditangkap, dan disiksa bahkan sepuluh orang dibunuh secara keji dan empat di antaranya adalah anak-anak.

3.5 Menghentikan agenda pembubaran ormas Islam serta setop kriminalisasi ulama maupun persekusi dan serta membebaskan semua ulama dan aktivis 212 beserta simpatisan yang ditahan, dipenjara pascaaksi 212 tahun 2016 hingga kini dari segala tuntutan. Serta memulangkan imam besar umat Islam Indonesia Habib Muhammad Rizieq bin Husain Shihab ke Indonesia tanpa syarat apapun.

3.6 Mewujudkan NKRI syariah yang berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 dengan prinsip ayat suci di atas ayat konstitusi agar diimplementasikan dalam kehidupan beragama berbangsa dan bernegara.

4. Perlunya Ijtimak Ulama dilembagakan sebagai wadah musyawarah antara habaib dan ulama serta tokoh istiqomah untuk terus menjaga kemaslahatan agama bangsa dan negara.

5. Perlunya dibangun kerja sama dari pusat hingga daerah antar ormas Islam dan parpol yang selama ini istiqomah berjuang bersama habaib dan ulama, serta umat Islam dalam membela agama bangsa dan negara.

6. Menyerukan kepada umat Islam untuk mengkonversi simpanan dalam bentuk logam mulia.

7. Membangun sistem kaderisasi yang sistematis dan terencana sebagai upaya melahirkan generasi Islam yang tangguh dan berkualitas.

8. Memberikan perhatian secara khusus terhadap isu dan masalah substansial tentang perempuan anak dan keluarga melalui berbagai kebijakan dan regulasi yang tidak bertentangan dengan agama dan budaya.