Senin, 05 Agustus 2019 16:30

Di Pansus Angket, Mantan Dirjen Otda Ungkap Dampak Dualisme Pemerintahan

Mays
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Prof Djohermansyah Djohan, diambil sumpahnya sebelum menjadi saksi ahli dalam sidang hak angket di DPRD Sulsel.
Prof Djohermansyah Djohan, diambil sumpahnya sebelum menjadi saksi ahli dalam sidang hak angket di DPRD Sulsel.

Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan, hadir sebagai saksi ahli dalam sidang Pansus Hak Angket DPRD Sulsel, Senin (5/8/2019). 

RAKYATKU. COM, MAKASSAR - Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan, hadir sebagai saksi ahli dalam sidang Pansus Hak Angket DPRD Sulsel, Senin (5/8/2019). 

Pada kesempatan ini, Djohermansyah ikut menjelaskan soal kedudukan wakil gubernur, sesuai dengan aturan yang ada. Ia menanggapi, terkait isu dualisme kepemimpinan di Pemprov Sulsel. 

"Posisi wakil kepala daerah itu tidak ada dalam konstitusi. Yang ada presiden dan wakil presiden. Gubernur saja, bupati saja, dan wali kota saja yang dipilih secara demokrasi. Jadi posisi wakil kepala daerah tidak ada di konstitusi, tapi diatur di Undang-Undang Pilkada," kata Prof Djohermansyah. 

Prof Djoh - sapaan akrab Djohermansyah - bilang, peran wakil gubernur itu ibarat ban serep. Dia menggantikan kepala daerah kalau berhalangan sementara, atau berhalangan tetap. 
 
"Tafsiran populernya sebagai ban serep. Dalam Undang-Undang 23, tugasnya membantu kepala daerah. Jadi kalau membantu itu jelas. Bukan dia yang menjadi pengendali pemegang tongkat komando," ujarnya. 

Prof Djoh kemudian mengungkapkan, ada lima dampak pecah kongsi atau dualisme dalam pemerintahan. Pertama, akan menjadi pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat. 

"Fungsi Otda salah satunya, supaya daerah berperan mendidik politik rakyat. Nomor 1 dan 2 pecah kongsi, itu mendapat kesan pendidikan politik yang buruk bagi mereka. Dampaknya, bisa tidak bersemangat lagi dalam berpolitik, Pilkada. Karena yang dia pilih tiba-tiba berkelahi," jelasnya.

Dampak kedua, birokrasi dalam hal ini Aparatur Sipil Negara (ASN) juga ikut terbelah. Ketiga, kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak fokus mengurus masyarakat.

"Karena sibuk mengurus konfliknya. Berkelahi terus. Akhirnya serapan anggaran menjadi rendah," katanya. 

Keempat, imbasnya juga berdampak pada DPRD. Dampak kelima, menjadi beban bagi pemerintah pusat. 

"Bukannya senang. Pusing kita, terlibat supervisi, fasilitasi, merundingkan dan mengoreksi kebijakan," pungkasnya.