RAKYATKU.COM - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu sempat menyebut Indonesia dan beberapa negara di dunia masih kesulitan menarik pajak digital. Hal ini pun sudah menjadi pokok bahasan dalam pertemuan G-20 melalui The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). OECD nantinya menetapkan skema pengenaan pajak bagi Industri digital.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara membeberkan alasan pemerintah masih sulit mengumpulkan pajak digital seperti Google dan Facebook. Salah satunya karena model bisnis perusahaan digital beroperasi di lintas negara, sementara sistem pemajakan di seluruh dunia tidak sama.
"Hampir di setiap rapat G20 dalam beberapa tahun terakhir, sampai dengan G20 menugaskan OECD membuat studi yang akan dilaporkan segera seperti apa seharusnya konsep pemajakan ini di tingkat internasional, nanti harapan kita hasil studi ini jadi acuan," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (9/7/2019).
Pada dasarnya, pemerintah berencana menggunakan skema pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN sebesar 10 persen terhadap industri digital. Meski demikian, Indonesia belum memiliki landasan hukum untuk menerapkan itu terhadap perusahaan yang berbasis di luar negeri atau yang tidak memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
"Sekarang bayangkan kalau mau memajaki PPN atas lagu yang ada di handphone, yang harusnya memungut siapa? Ada lagu di Spotify, bayar per bulan, harusnya dalam Rp 60.000, 10 persen PPN untuk negera. Tapi sekarang Rp 60.000 yang menerima perusahaan yang di sana, yang dibayar lewat operator, jadi sekarang wajib pungutannya siapa? Nah ini sekarang yang sedang kita tangani," jelas Suahasil dikutip dari merdeka.com.
Dengan adanya pertimbangan ini, maka jalan tengah yang harus dikaji adalah meninjau ulang Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009, terkait pengenaan pajak terhadap barang pertambahan nilai barang dan jasa. Sehingga perusahaan digital yang berada di luar negeri atau yang tidak memiliki BUT di Indonesia bisa dikenakan pajak.
"Itu belum bisa kita tentukan dia di luar negeri, jadi kalau nanti kita melakukan review peraturan perundang-undangan itu nanti yang akan kita tangani bisa dinyatakan perusahaan luar negeri sebagai wajib pungut (pajak) sehingga dia memungut dan menyetorkan ke kas negara. Ini sudah ada di lakukan di beberapa negara, yang saya tahu persis Australia," tandasnya.