Selasa, 09 Juli 2019 05:00

Melayu Jadi Bahasa Kedua di Makkah pada Abad 19

Nur Hidayat Said
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Ilustrasi.
Ilustrasi.

Bahasa Melayu merupakan bahasa yang banyak digunakan di Makkah, Arab Saudi, setelah bahasa Arab.

RAKYATKU.COM - Bahasa Melayu merupakan bahasa yang banyak digunakan di Makkah, Arab Saudi, setelah bahasa Arab.

Kedatangan para pendatang dalam jumlah banyak bisa  membentuk budaya, suasana, bahkan bahasa sesuai dengan tempat asal mereka.

Tidak terkecuali terbentuknya "kampung Melayu" di Makkah pad abad ke-19, yang mayoritas menggunakan salah satu bahasa daerah di Indonesia sebagai alat komunikasi sehari-hari.

Martin van Bruinessen menyatakan setidaknya pada 1820 bahasa Melayu menjadi bahasa kedua setelah bahasa Arab.
Berbicara bahasa kedua, dapat dimaknai bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa yang banyak digunakan di Makkah setelah bahasa Arab.

Hal ini tentu dikarenakan banyaknya umat Islam dari Nusantara yang berada di daerah tersebut.

Jadi pertanyaan menarik adalah apa motivasi orang-orang Nusantara malancong ke Makkah?

Jika para turis Arab yang secara perlahan membentuk “kampung Arab” di Indonesia, baik secara sengaja ataupun tidak, berawal dari berlibur, maka budaya masyarakat Nusantara yang mempunyai keinginan kuat untuk melaksanakan ibadah haji menjadi pendorong terkuat terbentuknya “kampung Melayu” di Makkah.

Keinginan kuat untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci ternyata tidak semata-mata berdampak yang sifatnya individual seperti di atas.

Keinginan kuat tersebut membuat para umat Islam Nusantara berlomba-lomba untuk pergi ke Makkah.

Pada 1853, jumlah jamaah haji dari Nusantara tercatat sebanyak 1.129. Jumlah ini terus meningkat. Pada 1858, jumlah haji dari Nusantara sebanyak 3.718.

Angka-angka tersebut merupakan jumlah yang besar jika dilihat dari seluruh jamaah haji dari seluruh dunia. Jumlah tersebut sekitar 15-20 persen dari jumlah seluruh jamaah haji.

Menariknya, jumlah orang yang kembali ke tanah air hanya 50 persen dari total jamaah yang berangkat. Sisanya bermukim di Makkah.

Kegiatan mereka di Makkah bermacam-macam, ada yang berdagang dengan memanfaatkan keramaian kota suci, ada juga menetap karena memang mempunyai cita-cita ingin meninggal di tanah suci, tempat kelahiran Rasulullah, ada pula yang belajar ilmu keagamaan kepada para ulama-ulama hingga mengajar di Makkah.

Contoh dari motivasi terakhir adalah Syaikh Nawawi al-Bantani yang menuliskan karya lebih dari 100 judul, Syaikh Mahfuz al-Termasi yang menjadi ahli hadis di Mekkah, Syaik Khalil Bangkalan, yang menjadi guru para ulama terkemuka seperti Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri NU.

Para ulama-ulama tersebut, selain menjadi guru para murid asal Nusantara juga menjadi guru murid dari beberapa negara Muslim.

Banyaknya jamaah haji yang bermukim tersebut menciptakan lingkungan yang bernuansa Nusantara termasuk bahasa yang digunakan, bahasa Melayu.

Informasi van Der Plas, pada 1920 an jumlah mereka mencapai sekitar 10.000 jiwa, jumlah yang jauh lebih besar dari pada turis Arab yang bermukim di Indonesia di era itu.

Wallahualam.

Sumber: Islami.co