Jumat, 12 April 2019 20:42

Nyaleg Modal Suami Bupati: Pembunuhan Demokrasi Terstruktur

Alief Sappewali
Konten Redaksi Rakyatku.Com
ILUSTRASI
ILUSTRASI

Salah satu penyakit demokrasi yang selama ini dilawan publik adalah politik dinasti. Sudah banyak contoh bagaimana daya rusak politik dinasti merusak-meluluhlantakkan demokrasi dan berujung korupsi. 

Oleh: Andi Makatita
Lembaga Pendidikan Demokrasi Sulsel

Salah satu penyakit demokrasi yang selama ini dilawan publik adalah politik dinasti. Sudah banyak contoh bagaimana daya rusak politik dinasti merusak-meluluhlantakkan demokrasi dan berujung korupsi. 

Di Banten ada klan Ratu Atut, di Kaltim ada Syaukani Hasan Rais, di Bangkalan ada Fuad Amin, dan seterusnya, sebelum akhirnya dibongkar oleh KPK. Padahal, demokrasi yang sehat adalah yang mengedepankan merit system, mengacu pada kompetensi dan kompetisi, serta mengutamakan kapasitas dan kapabilitas seorang calon pejabat publik, bukan sebaliknya kental nepotisme.

Fenomena rusaknya demokrasi inilah yang sekarang sedang menyelimuti banyak daerah, tak terkecuali Sulsel. Tak tanggung-tanggung, ada enam istri bupati yang maju sebagai calon anggota DPR, yaitu Indira Jusuf Ismail, istri Wali Kota Makassar Ramdhan Pomanto (caleg Perindo, Dapil Sulsel 1); Ani Nurbani, istri Wakil Bupati Luwu Timur Irwan Bahri Syam (caleg Golkar, Dapil Sulsel 3).

Namun, yang terbanyak ternyata berada di Dapil Sulsel 2 yang meliputi Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Soppeng, Wajo, Bone, Bulukumba dan Sinjai. Empat istri bupati maju caleg tersebut yakni Siti Maryam, istri Bupati Wajo Amran Mahmud (Nasdem); Rismayani, istri Bupati Pangkep Syamsuddin Hamid (Golkar); Hasnah Syam, istri Bupati Barru Suardi Saleh (Nasdem); dan Erna Rasyid, istri Wali Kota Parepare Taufan Pawe (Golkar). 

Fenomena hadirnya ibu-ibu rumah tangga ini tidak lebih dari patron kekuasaan suami di partai politik. Kehadiran istri-istri kepala daerah justru mempertegas oligarki dan dinasti di partai politik karena mereka tidak punya kompetensi menjadi wakil rakyat karena dipermak secara instan. Mereka hanya mengandalkan kekuasaan sang suami di satu kabupaten, padahal sebagai caleg DPR harusnya dia memperjuangkan banyak kabupaten dalam satu provinsi.
 
Yang lebih mengkhawatirkan adalah, ketika proses kampanye, sang suami sebagai bupati mampu mengerahkan birokrasi, anggaran negara dan kekuasaannya untuk memenangkan istrinya. Padahal, di sisi lain masih banyak permasalahan daerah yang harus dituntaskan. Kepala daerah terlihat lebih sibuk mengurusi kampanye istrinya daripada mengurangi pengangguran, mengatasi banjir, pungli pelayanan publik atau memperbaiki infratruktur jalanan yang rusak. 

Bupati bisa dengan mudahnya memerintahkan Aparatur Sipil Negara di bawahnya untuk memenangkan istrinya dengan ancaman demosi atau iming-iming promosi. Kepala desa juga rentan ditarget suara, dengan ancaman alokasi dana desa dari APBD akan dipotong atau tidak dicairkan. Anggaran bantuan sosial juga rentan disalahgunakan dengan modus proposal bantuan baru bisa dicairkan jika suara sang istri memenuhi target.

Yang lebih berbahaya, cukong politik pemilik modal juga bercokol, dia memainkan peranan penting dalam oligarki politik dengan menyediakan dana kampanye sang istri caleg yang kelak akan dibayar oleh proyek-proyek yang didanai oleh APBD. Karena tanpa disadari, kelak uang rakyatlah yang akan dicuri oleh cukong politik-kroni bisnisnya ini melalui mekanisme proyek pengadaan barang dan jasa, konsesi, dan dana bantuan sosial terstruktur. Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch menggambarkan lingkaran setan korupsi politik ini sangat rapi dan levelnya melingkupi elite politik, seperti tergambar di flowchat berikut ini.


Fenomena pelanggaran ini sistematis, terstruktur dan masif. Tetapi sayang, Bawaslu kita masih mandul dan rentan berselingkuh dengan penguasa daerah. Maka, garda terakhir untuk mencegah rusaknya demokrasi ini berada di tangan rakyat. Modus korupsi demokrasi ini mudah sekali terbaca dan harusnya publik bisa menggunakan akal sehatnya dengan menghukum caleg istri bupati di TPS dengan tidak memilihnya. 

Karena jika tidak, maka lima tahun ke depan rakyat akan dibuat menderita dan menyesal kelak dipertontonkan fenomena nepotisme demokrasi yang menjijikkan. Karena, ia tak akan berhenti dan akan terus memperlebar sayap kekuasaannya, tidak hanya istrinya yang didorong maju sebagai caleg, tetapi juga anak, keponakan, menantu, hingga kerabatnya. 

Tidak hanya caleg, seluruh lini tentu akan dikuasai, bisa jadi maju sebagai kepala daerah, menduduki jabatan strategis di daerah, komisaris badan usaha milik daerah, kepala-kepala dinas, hingga memiliki saham di perusahaan yang mengikuti lelang dimana keluarganya sendiri menjadi penguasa.

Jadi, 17 April 2019 sudah saatnya rakyat mengambil sikap dengan mengatakan tidak untuk caleg-caleg demikian. Jika ada tawaran amplop berisi uang, sembako, sarung, minyak, mi instan dan segala macam bentuk politik uang maka hanya satu kata: TANGKAP PELAKUNYA, ARAK KELILING DESA, DAN SERAHKAN KEPADA KEPOLISIAN. Agar mereka tahu dan jera, bahwa harga diri rakyat tidak bisa dibeli. (*)