RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Kekalahan telak yang diderita Prabowo Subianto dari Joko Widodo di Sulawesi Selatan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 silam, masih membekas.
Saat itu, Jokowi yang berpasangan denga Jusuf Kalla, menang cukup besar di Sulsel. Jokowi-JK unggul dengan perolehan 71,43 persen atau setara 3.037.026 suara.
Sisanya dikantongi pasangan Prabowo Subianto yang kala itu berduet dengan Hatta Rajasa, dengan persentase 28,57 persen atau setara dengan 1.214.857 suara, dari total suara sah sebanyak 4.251.883 suara.
Banyak pihak menyebut, jika keunggulan Jokowi saat itu banyak dipengaruhi kehadiran JK sebagai cawapres. JK dikenal sebagai putra daerah dengan basis dan jejaring yang sangat luas di Sulsel.
Saat ini, dengan duet bukan dari putra daerah, mampukah Prabowo melakukan revans terhadap Jokowi atas kekalahannya di Sulsel pada Pilpres 2014?
Berkaca dari hasil survei terbaru Celebes Research Center (CRC) yang direkam pada 5-15 Januari 2019 lalu, tingkat elektabilitas Prabowo yang berpasangan dengan Sandiaga Salahuddin Uno, memang masih kalah dari duet Jokowi-Ma'ruf Amin.
Namun bedanya cukup tipis. Hanya selisih kurang lebih 4 persen. Jokowi-Ma'ruf 46,0 persen, sementara Prabowo-Sandi 41,9 persen.
Akan tetapi, satu fakta menarik perlu dicermati. Jika di Pilpres 2014 Prabowo hanya unggul di satu daerah di Sulsel, yakni di Jeneponto, kali ini berdasarkan survei CRC, calon presiden nomor urut dua itu sudah unggul di 10 daerah. Sejumlah daerah di Sulsel bahkan menempatkan Prabowo unggul telak.
Pakar Politik Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Andi Luhur Prianto menyebut jika memang hasil survei tersebut bisa saja berubah. Namun, setidaknya bisa menjadi pegangan saat ini.
"Untuk temuan CRC pada Pilpres 2019 di Sulsel, saya kira memang masih akan terus berubah. Semua tergantung kerja-kerja elektoral tim pemenangan," ungkapnya kepada Rakyatku.com melalui aplikasi pesan, Rabu (13/2/2019).
Namun, kata Luhur, jika mencermati peningkatan elektabilitas Prabowo selaku penantang sang petahana, memang butuh kerja masif bagi tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf untuk membendungnya. Peluang revans pun tentu terbuka.
"Kalau tidak ada usaha terstruktur dan masif dari koalisi petahana Jokowi-Ma'ruf untuk membendung, maka tren peningkatan elektabilitas penantang atau Prabowo-Sandi akan terus bergerak naik," tambahnya.
Oleh karena itu, kata Luhur, disisa waktu dua bulan jelang pemungutan suara, kedua kontestan Pilpres ini haram hukumnya untuk melakukan blunder. Sebab jika melakukan kesalahan sedikitpun, dampaknya akan sangat besar.
"Semua pasangan bertarung dengan waktu. Bagi tim petahana, terasa begitu lama menuju 17 April 2019. Sebaliknya, bagi tim penantang waktu terasa begitu cepat sampai di 17 April 2019. Sisa dua bulan ini, mereka sudah harus sprint di jelang garis finish. Tidak boleh lagi ada blunder yang tidak perlu, yang bisa menghambat pergerakan elektoral mereka," pungkasnya.