RAKYATKU. COM, MAKASSAR — Kearifan lokal Bugis-Makassar kembali diangkat ke layar lebar lewat film “Badik”, karya kolaborasi Indora Global Film dan Pandawa Lima yang menghadirkan kekuatan budaya, filosofi, dan nilai-nilai luhur masyarakat Sulawesi Selatan dalam bingkai sinema modern.
Gala premier film ini berlangsung meriah di Studio XXI Trans Studio Mall Makassar, Sabtu malam (25/10/2025), disaksikan para sineas, tokoh budaya, dan komunitas film lokal. Film Badik akan tayang serentak di seluruh bioskop Indonesia mulai 30 Oktober 2025.
Makna di Balik “Badik”: Simbol Kehormatan dan Cinta
Film Badik menyoroti filosofi senjata tradisional badik—ikon masyarakat Bugis-Makassar—sebagai simbol harga diri, cinta, dan kekeluargaan. Dalam film ini, senjata pusaka itu bukan alat kekerasan, melainkan cerminan kehormatan dan tanggung jawab moral yang diwariskan leluhur.
Sutradara Dicky R. Maland memadukan kisah penuh emosi dengan adegan laga khas Sulawesi Selatan seperti tarung sarung dan duel badik, menjadikannya film bernuansa lokal yang tetap universal secara tema.
Film ini dibintangi Prisia Nasution dan Donny Alamsyah, serta talenta muda Sulsel seperti Fandy AA (Unru) dan Aulia Yayan (Dinda). Turut tampil pula sejumlah aktor lokal: Andi Kepo, M. Fahrul Rozi, Andi Wira, Rivan, Aulia Qalbi, Ryan Hidayat, Putri Aminda, Anggun, Andi Djajang, Rara, Bahrun, dan Aspada.
Perjalanan Panjang Produksi
Eksekutif Produser Ira Kusmira mengungkapkan bahwa proses produksi film ini memakan waktu panjang karena sempat tertunda akibat pandemi.
“Film ini sebenarnya sudah mulai diproduksi sebelum Covid-19, tapi tertunda cukup lama. Kami baru bisa melanjutkan setelah situasi pulih,” jelasnya.
“Biasanya promosi film butuh tiga bulan, tapi Badik hanya sebulan. Meski begitu kami optimistis, karena film ini punya nilai budaya yang kuat.”
Ira menegaskan bahwa Badik bukan sekadar tontonan, melainkan upaya melestarikan identitas Bugis-Makassar di tengah arus globalisasi.
“Badik adalah identitas kita. Jangan sampai budaya ini diklaim pihak lain. Kita harus bangga dan menjaganya,” ujarnya.
Dari Mimpi Komunitas ke Karya Nasional
Salah satu inisiator film Badik, Andi Pasamangi Wawo, menceritakan bahwa ide film ini bermula dari komunitas seni Pendopo Aspirasi di Manggala, Makassar.
“Kami awalnya hanya kumpul di sanggar seni, lalu muncul ide membuat film bernilai lokal. Tapi prosesnya tidak mudah—biaya produksi membengkak dari Rp1 miliar jadi Rp4,5 miliar,” katanya.
Meski menghadapi tantangan pandemi dan keterbatasan dana, semangat tim tidak surut.
“Kami ingin menunjukkan bahwa badik bukan alat kekerasan, melainkan simbol kehormatan dan amanah leluhur,” lanjutnya.
Setelah delapan tahun perjalanan produksi sejak 2017, film ini akhirnya rampung dan siap ditayangkan ke publik.
“Kami berharap Badik membuka mata masyarakat bahwa budaya kita memiliki filosofi luhur yang patut dilestarikan,” ujarnya.
Menampilkan Pesona Alam dan Budaya Sulawesi Selatan
Pengambilan gambar dilakukan di sejumlah lokasi ikonik Sulawesi Selatan—Makassar, Pangkep, Malino Gowa, Ramang-Ramang, Taman Batu, hingga Leang-Leang Maros—memberi nuansa autentik yang memperkaya visual film.
Film ini tidak hanya mengedepankan aksi dan drama, tetapi juga menonjolkan kearifan lokal, keindahan alam, serta pesan moral tentang persaudaraan dan kehormatan.
Sinopsis Singkat
Kisah Badik berpusat pada dua bersaudara, anak dari seorang guru silat di pelosok Makassar. Unru (Fandy AA) berjuang memajukan pendidikan, sementara Badik (Wahyudi Beksi) memilih melestarikan adat dan bela diri warisan ayahnya.
Konflik dimulai saat Unru meninggal misterius saat kegiatan ospek di kota. Badik kemudian menelusuri kebenaran dan menemukan bahwa tragedi itu berkaitan dengan praktik kekerasan kampus dan senioritas ekstrem.
Bersama Nur (Prisia Nasution), ia berjuang membongkar kebenaran yang mengungkap sisi gelap dunia akademik. Di balik itu, Badik menyampaikan pesan tentang keadilan, cinta keluarga, dan kehormatan diri.
Budaya Bugis-Makassar yang Terus Hidup
Lebih dari sekadar hiburan, Badik menjadi tuntunan budaya yang menegaskan bahwa di tengah modernisasi, nilai-nilai luhur Bugis-Makassar—seperti siri’ na pacce (harga diri dan solidaritas)—tetap hidup dan relevan.
Film ini menjadi bukti bahwa industri film daerah mampu menghadirkan karya berkualitas nasional dengan jiwa lokal yang kuat.
