Kamis, 10 Juli 2025 21:03

Budaya Patriarki pada Masyarakat Tionghoa Membungkam Anak Perempuan, Tapi Vivi Memilih Bersuara

Lisa Emilda
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Pemilik Hermin Salon Vivi  saat ditemui di RM De TEMPONG Hasanuddin, kamis(10/7)
Pemilik Hermin Salon Vivi saat ditemui di RM De TEMPONG Hasanuddin, kamis(10/7)

Saya hanya ingin keadilan. Saya ingin budaya ini dikaji ulang. Jangan terus memuja anak laki-laki lalu mengabaikan kontribusi anak perempuan. Saya ingin keringat saya diakui

RAKYATKU.COM, MAKASSAR — Dalam masyarakat Tionghoa, sistem patrilineal dan patriarkal masih kuat berakar. Anak laki-laki dipandang sebagai penerus marga, penjaga garis keluarga, sekaligus pewaris utama. Namun, di balik kemegahan budaya tersebut, ada luka-luka yang tersimpan, terutama di hati para anak perempuan. Salah satunya dialami oleh Vivi, pemilik Hermin Salon, sebuah usaha klinik kecantikan ternama di Makassar yang dibangunnya bersama sang ibu selama puluhan tahun.

Kepada Rakyatku.com, Vivi berbagi cerita tentang ketimpangan perlakuan dalam keluarganya, yang menurutnya berakar pada konstruksi budaya Tionghoa yang menomorsatukan anak laki-laki. Adiknya, JH, pemilik enam pabrik air mineral di Makassar, adalah simbol dari warisan budaya Tionghoa yang memuja putra. Namun, justru dari relasi itu, konflik keluarga berubah menjadi perseteruan hukum yang berlarut.

“Saya bukan menolak budaya, tapi saya menolak untuk terus diinjak-injak atas nama budaya itu. Saya bekerja membantu ibu saya membangun Hermin Salon. Tapi ketika warisan dibagi, adik saya bisa mendapatkan lebih dari setengah aset yang dibangun dari keringat saya,” ujar Vivi dengan nada getir.

Dari Warisan ke Sengketa

Masalah bermula saat pembagian warisan ibunya menimbulkan polemik. Vivi merasa diabaikan dalam proses transaksi atas aset yang ia ikut bangun. Termasuk dalam hal penjualan rumah dan tanah, ia mengaku kerap dipaksa tunduk pada keputusan JH. Bahkan, saat ia membutuhkan dana mendesak untuk operasi katarak pada matanya yang hampir buta, Vivi mengaku ditolak jika tidak bersedia menandatangani surat pemutusan komunikasi dengan sang adik.

“Saya tidak diizinkan menjual tanah warisan, kecuali menandatangani pernyataan bahwa saya tak akan menghubungi adik saya lagi. Padahal saat itu, penglihatan saya tinggal 30%. Saya butuh operasi. Tapi karena surat itu, saya tidak bisa akses uang saya sendiri,” kisahnya.

Budaya yang Membelenggu

Fenomena ini tak lepas dari akar budaya Tionghoa yang masih mengagungkan anak laki-laki sebagai pusat kekuasaan keluarga. Dalam praktiknya, hal ini melahirkan ketimpangan yang dalam, bahkan hingga pada pembagian aset, kontrol keuangan, dan pengambilan keputusan.

Peneliti seperti Suliyati (2002) dan studi “Journey of Basic Educational Studies” (2005) mencatat bahwa dalam sistem patrilineal, anak laki-laki dipandang sebagai simbol kejayaan keluarga, sementara anak perempuan kerap menjadi pihak kedua. Namun dalam realitas modern, ketika anak perempuan justru ikut menopang ekonomi keluarga, perlakuan tak setara ini menjadi luka yang tak bisa disembunyikan.

“Saya hanya ingin keadilan. Saya ingin budaya ini dikaji ulang. Jangan terus memuja anak laki-laki lalu mengabaikan kontribusi anak perempuan. Saya ingin keringat saya diakui,” tegas Vivi.

Dari Keluarga ke Ranah Hukum

Kasus ini menjadi contoh bagaimana konflik internal keluarga bisa melebar hingga ke ranah hukum, bahkan menyingkap potensi penyalahgunaan kekuasaan dan relasi patriarki dalam konteks ekonomi keluarga.

Vivi menolak tunduk pada tekanan yang ia anggap sudah di luar batas. Ia secara terbuka menuntut agar aset yang dibeli dengan hasil Hermin Salon — termasuk ruko di Hasanuddin, rumah di Jalan Macan, puri mutiara, the mutiara, citraland, apartemen pasar baru jkt dan properti lain — dikembalikan atau diselesaikan secara adil. Ia bahkan menyatakan untuk kembalikan aset-aset warisan itu pada Tuhan jika adik JH tak mau kembalikan pada Vivi

“Jangan bermegah di atas keringat orang lain. Siri’ na pacce harus hidup kembali. Hormati yang berjuang, hargai keringat orang. Usia produktif tidak akan kembali untuk menghasilkan aset sebanyak itu.

Kisah ini tidak hanya bicara tentang warisan atau konflik keluarga. Ia berbicara tentang luka struktural yang ditinggalkan budaya patriarki, yang mewariskan kuasa kepada anak laki-laki, namun mengabaikan peran, kerja keras, dan hak anak perempuan. Dari salon hingga ruang interogasi aparat, Vivi membawa pesan penting bahwa budaya tanpa keadilan Dan kebenaran hanya akan melahirkan pertikaian, bukan persatuan.

#Budaya patriarki #Budaya Tionghoa #Dari Budaya Patriarki berujung Rana Hukum