RAKYATKU.COM, MAKASSAR – Di tengah derasnya arus digitalisasi, Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI), lebih dikenal sebagai Peer-to-Peer Lending (P2PL), hadir sebagai harapan baru bagi masyarakat. Namun, kehadirannya juga menuntut perhatian besar dari pemerintah dan lembaga terkait.
“Dalam konteks ini, Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) telah menjadi tonggak penting dalam memberikan landasan hukum bagi penyelenggara LPBBTI, yang sebelumnya beroperasi tanpa payung hukum yang memadai,” ujar Kepala Kantor OJK Sulselbar, Darwisman dalam pemaparannya dalam Journalist Update angkatan X, Senin 4 November 2024.
UU P2SK, yang menegaskan bahwa penyelenggara LPBBTI termasuk dalam kategori Lembaga Jasa Keuangan lainnya, memberikan kekuatan baru dalam pengaturan dan pengawasan industri ini.
Baca Juga : Sejak APPK hadir januari 2024, OJK Berhasil Tangani 625.074 Pengaduan Konsumen
Dalam pasal-pasalnya, undang-undang ini menetapkan kewenangan bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap penyelenggara LPBBTI yang bermasalah. Langkah ini bukan hanya berfungsi sebagai alat penegakan hukum, tetapi juga sebagai jaminan perlindungan bagi masyarakat yang bergantung pada layanan ini. “Namun, di balik harapan itu, tantangan besar menghadang. Data menunjukkan bahwa tahun 2023 telah terdaftar 2.248 entitas pinjaman online ilegal yang ditindak oleh Satuan Tugas PASTI,” tambah Darwisman Ini menandakan bahwa kehadiran pinjol ilegal, yang bisa berupa korporasi atau individu, menjadi ancaman nyata bagi ekosistem keuangan digital. Dalam konteks ini, UU P2SK juga mengatur dasar hukum bagi penindakan terhadap penyelenggara P2P Lending ilegal, yang mulai berlaku pada 2026.
Di sisi lain, keberadaan LPBBTI yang berizin semakin menampakkan pertumbuhan yang menggembirakan. Hingga September 2024, outstanding P2P lending mencapai Rp74,48 triliun, tumbuh 33,73 persen secara tahunan. Angka ini mencerminkan kebutuhan mendasar masyarakat yang unbankable dan underserved, yang kini mulai terlayani untuk kebutuhan produktif dan konsumtif. “Menariknya, tingkat risiko kredit macet (TWP90) terjaga stabil di posisi 2,38 persen, menunjukkan bahwa meski ada risiko, kredit scoring yang baik dapat membantu mengurangi potensi gagal bayar,” papar Darwisman.
Roadmap pengembangan LPBBTI untuk periode 2023-2028 menggarisbawahi berbagai aspek penting. Penguatan permodalan, tata kelola, manajemen risiko, hingga perlindungan konsumen menjadi fokus utama. Selain itu, pengembangan elemen ekosistem dan infrastruktur data juga ditekankan agar dapat menghadapi tantangan yang semakin kompleks.(*)