RAKYATKU.COM, JAKARTA - Peneliti Astronomi dan Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin, menyebut awal Ramadan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) bisa saja sama, tetapi saat merayakan Lebaran Idulfitri 1444 Hijriah berpotensi berbeda.
Menurut Thomas, kesamaan dan perbedaan tersebut tergantung pada kriteria wujudul hilal yang digunakan Muhammadiyah serta imkan rukyat (visibilitas hilal) yang digunakan NU dan beberapa ormas lain.
"Penentuan awal bulan memerlukan kriteria agar bisa disepakati bersama. Rukyat memerlukan verifikasi kriteria untuk menghindari kemungkinan rukyat keliru. Hisab tidak bisa menentukan masuknya awal bulan tanpa adanya kriteria sehingga kriteria menjadi dasar pembuatan kalender berbasis hisab yang dapat digunakan dalam prakiraan rukyat," ujar Thomas dalam laman resmi BRIN dikutip, Jumat (10/3/2023).
Baca Juga : Ketua PBNU Tegaskan tidak Ada Satu pun Capres-Cawapres Atas Nama NU
Thomas menambahkan, kriteria hilal yang diadopsi harus berdasarkan pada dalil syariah (hukum agama) tentang awal bulan dan hasil kajian astronomis yang sahih.
Ia mengatakan kriteria tersebut harus mencari titik temu pengamal rukyat dan pengamal hisab, untuk menjadi kesepakatan bersama. Termasuk Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).
Thomas menyebut ada potensi kesamaan awal Ramadan. "Apabila saat magrib 22 Maret 2023 di Indonesia posisi bulan sudah memenuhi kriteria baru MABIMS, dengan tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat (3-6,4) dan sudah memenuhi kriteria wujudul hilal (WH). Jadi seragam versi (3-6,4) dan (WH) bahwa 1 Ramadhan 1444 pada 23 Maret 2023," ucapnya.
Baca Juga : Kemenag Sidang Isbat Awal Zulhijah 18 Juni 2023, Rukyatul Hilal di 99 Lokasi
Di sisi lain, Thomas menyebut adanya potensi perbedaan terkait Idulfitri Hal ini disebabkan karena pada saat magrib 20 April 2023, ada potensi di Indonesia posisi bulan belum memenuhi kriteria baru MABIMS, yaitu tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat (3-6,4).