RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax di Sulawesi Selatan (Sulsel) memperlihatkan tren positif pada kuartal pertama 2023 ini.
Dibandingkan pengujung 2022 lalu, konsumsi Pertamax rata-rata 229 kiloliter (kl) per hari. Sementara, pada Januari 2023 mulai bergerak naik menjadi 243 kl per hari atau meningkat 14 persen.
Walaupun harga fluktuatif, konsumen Pertamax tetap setia menggunakan Pertamax sebagai bahan bakarnya dikarenakan faktor fungsional efek terhadap mesin kendaraan yang lebih signifikan.
Baca Juga : Usulan Pemprov Sulsel Larang Penunggak Pajak Beli BBM Bersubsidi Tuai Kritik
Meskipun jika dibandingkan dengan Pertalite, konsumsi tersebut hanya tujuh persen dari rata-rata konsumsi harian Pertalite mencapai 3.320 kl/hari.
Area Manager Communication, Relations, & CSR Pertamina Patra Niaga Regional Sulawesi, Fahrougi Andriani Sumampouw, menyebut disparitas harga yang tidak terlalu jauh antara Pertamax dan Pertalite yang mungkin mendorong masyarakat untuk migrasi ke produk BBM nonsubsidi.
Selain itu, antrean panjang yang kerap mengular di sejumlah SPBU juga ikut menjadi pemicu beralihnya pengguna ke Pertamax.
Baca Juga : Jamin Kuota BBM di Bone Aman, Pj Bupati Bone: Jangan Panic Buying!
Sejumlah konsumen menyebut memilih Pertamax bukan dipengaruhi faktor harga. Seperti yang diungkapkan Ahsan. Ia mengatakan, dari aspek kualitas, Pertamax memberikan performa yang baik untuk kendaraan roda dua miliknya.
"Saya memahami kalau harga Pertamax naik-turun yang mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor. Untuk harga sebelumnya dan saat ini harga masih relatif tidak ada masalah," ungkapnya, Kamis (23/2/2023).
Berbeda dengan Kristo. Konsumen Pertamax untuk kendaraan roda empat ini mengaku fluktuasi harga Pertamax tidak menjadi masalah.
Baca Juga : Kenaikan Harga BBM Nonsubsidi, Ekonom Sebut Penyesuaian Pertamina Sudah Tepat
"Saya berpendapat hal ini adalah sebuah konsekuensi. Kan, sudah ada pilihan, kalau mau kualitas bagus, ya, harus membayar lebih. Jadi, naik-turunnya harga tidak masalah buat saya," ucapnya.
Bagaimana Harga BBM Ditentukan?
Anggota Komite BPH Migas, Basuki Trikora Putra, menyebut faktor penentu harga BBM nonsubsidi dipengaruhi beberapa hal. Menurutnya, penetapan harga badan usaha tentu juga sangat memperhatikan kondisi pertumbuhan ekonomi, sektor industri, daya beli, dan kelangsungan bisnis badan usaha.
“Ada banyak variabel yang menentukan harga BBM, termasuk BBM nonsubsidi atau nonpublic service obligation (PSO). Di antaranya harga minyak dunia, rata-rata produk minyak olahan Mean of Plaits Singapore (MOPS Argus), inflasi, dan kurs rupiah,” terangnya.
Baca Juga : Pemprov Sulsel: Konsumsi BBM Nonsubsidi Tinggi Indikasi Ekonomi Sehat
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, berpendapat ide untuk mengevaluasi harga BBM nonsubsidi mengikuti harga keekonomian pasar yang terus bergerak sangat tepat diterapkan.
"Hal ini dinilai wajar dalam dunia bisnis dan tidak ada yang dilanggar selama memang yang diatur memang tidak disubsidi oleh pemerintah. Pengguna BBM non subsidi sebagian besar adalah kalangan menengah ke atas," tuturnya.
Selain itu, dengan dibiarkan floating tidak akan ada perubahan harga drastis yang justru mengejutkan masyarakat. Misalnya, kata dia, jika tiba-tiba harga minyak dunia naik, tetapi harga ditahan dan baru dua atau tiga bulan kemudian naik signifikan masyarakat akan terkejut.