RAKYATKU.COM, JAKARTA - DPD RI kembali melaksanakan Sidang Paripurna setelah agenda reses selama sebulan dari 15 April sampai 16 Mei 2022.
Salah satu hal yang menarik adalah saat pembacaan laporan aspirasi daerah Sulsel yang dibacakan oleh senator sekaligus Ketua Kelompok DPD di MPR RI, Tamsil Linrung.
Dalam kesempatan tersebut Tamsil mengingatkan tiga poin monumental persoalan bangsa yang saat ini jadi perhatian, yaitu perjuangan PT 0%, Aksi Mahasiswa dan Islamofobia.
Baca Juga : Begini Pandangan Akademisi tentang Keterwakilan Anggota DPD RI asal Toraja
"Masyarakat Sulawesi Selatan menjadi bagian penting dalam dinamika perjalanan bangsa. Terus memantau perkembangan perjalanan ketatanegaraan kita, dan terlibat secara langsung maupun secara tidak langsung. Baik di tataran filosofis, ideologis, sampai pada pelaksanaan kebijakan negara secara teknis," katanya, Rabu 18 Mei 2022.
Ia menyebut, masyarakat Sulawesi Selatan hadir sebagai masyarakat kritis yang berpartisipasi dalam berbagai isu kenegaraan. Di antaranya, turut menyoroti dampak ambang batas pencalonan presiden terhadap sistem demokrasi elektoral yang mencederai keterwakilan aspirasi rakyat. Wacana penghapusan Presidential Threshold menjadi nol persen (PT 0%) mendapatkan respons antusias demi mendapatkan pemimpin terbaik di republik ini.
Kedua kata Tamsil adalah dukungan penuh terhadap gerakan kritis Aktivis Mahasiswa dalam menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat. Mahasiswa tampil menolak gerakan perpanjangan masa jabatan dan penundaan pemilu 2024, mengadvokasi kelangkaan minyak goreng dan kenaikan BBM yang menekan ekonomi masyarakat.
Baca Juga : Sekolah Politik Tali Foundation, Tamsi Linrung Bahas Fungsi dan Kewenangan DPD RI
"Isu-isu tersebut direspons melalui gerakan politik ekstra parlementer dengan menggelar mimbar bebas dan kajian akademis," tambahnya.
Ketiga adalah mendukung gerakan anti Islamofobia untuk mewujudkan kohesifitas sosial dan solidaritas yang inklusif. Terlebih seruan tersebut dikumandangkan dari panggung sidang Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yang berarti merefleksikan anti Islamofobia sebagai gerakan kemanusiaan universal. Untuk kepentingan semua golongan.
"Masyarakat menyayangkan dan mengkritisi ketidakmampuan pemerintah melahirkan narasi positif bagi keutuhan bangsa. Sebaliknya, masyarakat merasakan polemik islamofobia dipelihara di tengah situasi yang tidak kondusif dan rentan menimbulkan ketegangan serta gesekan-gesekan secara horizontal di tengah masyarakat," bebernya.