Kamis, 13 Agustus 2020 20:32

Teknologi Pengenalan Wajah, Keturunan Asia dan Afrika 100 Kali Lebih Sering Salah Diidentifikasi

Nur Hidayat Said
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Ilustrasi. (Foto: Shutterstock)
Ilustrasi. (Foto: Shutterstock)

Menurut Washington Post, warga Amerika keturunan Asia dan Afrika 100 kali lebih sering salah diidentifikasi dibanding laki-laki kulit putih. Kalaupun teknologi ini melakukan identifikasi secara benar, banyak yang menilai tidak seharusnya digunakan.

RAKYATKU.COM - Para aktivis ingin agar polisi dilarang menggunakan teknologi pengenalan wajah dan kini sebagian perusahaan teknologi raksasa mengurangi kerja sama dengan aparat penegak hukum.

Microsoft baru-baru ini mengumumkan tidak akan menjual teknologi pengenalan wajah pada kepolisian di Amerika Serikat, setidaknya hingga ada aturan hukum federal untuk mengatur hal ini.

Sebelumnya IBM dan Amazon juga mengumumkan kebijakan serupa. Kedua perusahaan teknologi raksasa itu mengumumkan pembatasan rencana untuk menjual teknologi pengenalan wajah. Ini sebagai tanggapan terhadap demonstrasi anti-rasisme yang meluas di seluruh dunia Juni lalu, pasca meninggalnya warga kulit hitam George Flyod di tahanan polisi di Minneapolis, Minnesota 25 Mei lalu.

Baca Juga : AS Kirim VAMPIRE ke Ukraina 

Mereka yang menentang mengatakan piranti pengenalan wajah itu cacat. Associate Director of Community Organizing di Electronic Frontier Foundation, Nathan Sheard, mengatakan, “Piranti itu gagal atau salah mengidentifikasi perempuan, anak muda dan orang dengan warna kulit lebih gelap. Teknologi itu yang saat ini digunakan. Basis data yang diambil – termasuk arsip foto mereka yang pernah ditangkap polisi – lebih banyak yang mewakili kelompok minoritas, warga kulit hitam, pekerja migran dan perempuan transgender; akan memperburuk ketidakadilan yang memang sudah ada dalam sistem hukum pidana kita.”

Menurut Washington Post, warga Amerika keturunan Asia dan Afrika 100 kali lebih sering salah diidentifikasi dibanding laki-laki kulit putih.

Ada pula kekhawatiran pelanggaran privasi. Namun, Sheard menggarisbawahi, kalaupun teknologi itu melakukan identifikasi secara benar, hal itu tidak seharusnya digunakan.

Baca Juga : Penembakan Massal Terjadi di Berbagai Kota AS, Lebih dari 12 Orang Tewas

“Orang-orang tidak akan dapat secara bebas melaksanakan hak-hak mereka yang dijamin dalam Amandemen Pertama Konstitusi Amerika, yaitu untuk berkumpul, bergaul dengan siapapun yang mereka inginkan, atau untuk mengunjungi klinik medis sesuai pilihan, atau pergi ke institusi agama mereka tanpa rasa takut; karena mereka semua secara terus menerus ada di bawah semacam pengawasan.”

Kontroversi tentang pengenalan wajah bukan hal baru. Komite Pengawasan dan Reformasi di DPR tahun lalu telah melangsungkan dengar pendapat untuk mengkaji penggunaan teknologi pengenalan wajah oleh pemerintah dan entitas komersil.

Pendiri Algorithmic Justice League, Joy Buolamwini, mengatakan, “Paling tidak, Kongres harus meloloskan moratorium tentang penggunaan pengenalan wajah oleh polisi, karena potensi untuk pelecehan, kurangnya pengawasan dan ketidaksiapan teknis dapat menimbulkan risiko yang terlalu besar, terutama bagi masyarakat yang terpinggirkan.”

Baca Juga : Kremlin Tuduh AS Terlibat dalam Dugaan Upaya Pembunuhan Putin

San Fransisco, yang secara tidak resmi menjadi ibu kota teknologi dunia, baru-baru ini menjadi kota pertama di Amerika yang melarang penggunaan teknologi pengenalan wajah oleh polisi dan pejabat-pejabat lain. Sementara negara bagian Illinois memiliki aturan hukum yang mengharuskan perusahaan-perusahaan untuk memiliki peraturan tertulis sebelum mengumpulkan data biometrik, seperti sidik jari, pemindaian wajah dan lain-lain.

Ketua Dewan Pengawas Kota San Fransisco Aaron Peskin mengatakan, “Teknologi yang salah mengidentifikasi 28 anggota Kongres Amerika ini dapat benar-benar disalahgunakan oleh pemerintah.”

Pemerintahan di seluruh dunia telah mulai menggunakan teknologi ini. Australia menanamkan investasi dalam pengarsipan biometrik wajah yang disebut “The Capability.” Di Inggris, ada zona-zona pengenalan wajah. China juga menggunakan teknologi ini untuk memonitor hampir semua hal, meskipun pekerjaan tidak terlalu penting seperti pembagian jatah kertas tissue di toilet-toilet umum.

Baca Juga : Kolombia Usir Tokoh Oposisi Venezuela yang Didukung AS

Anda tentu belum lupa dengan kemampuan Apple untuk membuka informasi yang ada dalam iPhone terbaru.

Sebagian orang, seperti Bruce Hanson, CEO dan pendiri Creedence ID, yang mengelola perusahaan yang menggunakan biometrik guna mengenali seseorang, mengatakan teknologi ini tidak akan hilang begitu saja.

“Tentu saja perlu dikaji soal bagaimana penggunaan praktik pengenalan wajah ini. Tetapi menghapus teknologi biometrik, ini seperti menghapus internet karena juga dapat digunakan untuk hal-hal buruk.”

Baca Juga : Pentagon Tempatkan Pasukan di Dekat Sudan

Mungkin teknologi pengenalan wajah bisa tetap digunakan, tetapi seiring dengan mundurnya sejumlah perusahaan teknologi raksasa, maka kini para anggota Kongres yang harus bertanggungjawab dan mengawasi penggunaan teknologi ini di Amerika.

Sumber: VOA Indonesia

#Pengenalan Wajah #Amerika Serikat