Rabu, 05 Agustus 2020 16:03

Dirjen WHO: Mungkin Tak Akan Pernah Ada Obat untuk Covid-19

Nur Hidayat Said
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus. (Foto: AFP)
Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus. (Foto: AFP)

"Kita semua berharap memiliki sejumlah vaksin ampuh yang bisa membantu mencegah orang tertular. Namun, tidak ada obat yang manjur saat ini - dan mungkin tidak akan pernah ada. Jadi, yang bisa dilakukan saat ini untuk menghentikan wabah adalah menerapkan dasar-dasar kesehatan masyarakat dan pengendalian penyakit."

RAKYATKU.COM - Sementara jumlah penularan Covid-19 di seluruh dunia melampaui 18 juta, Dirjen WHO pada Senin (3/8) memperingatkan mungkin tidak akan pernah ada "obat manjur" untuk Covid-19.

Harapan dunia untuk memutus siklus penularan dan penutupan wilayah kini bertumpu pada vaksin. Namun, dalam konferensi pers secara virtual pada Selasa (4/8/2020), Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, di Jenewa mengatakan pemerintah dan warga seharusnya berfokus pada apa yang diketahui ampuh yaitu testing, pelacakan kontak, jaga jarak fisik dan pemakaian masker.

"Kita semua berharap memiliki sejumlah vaksin ampuh yang bisa membantu mencegah orang tertular. Namun, tidak ada obat yang manjur saat ini - dan mungkin tidak akan pernah ada. Jadi, yang bisa dilakukan saat ini untuk menghentikan wabah adalah menerapkan dasar-dasar kesehatan masyarakat dan pengendalian penyakit," ujar Tedros.

Baca Juga : WHO Akhiri Status Darurat Kesehatan Global Covid-19

Meskipun sudah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama berbulan-bulan sehingga melumpuhkan ekonomi, pandemi Covid-19 terus meluas. Kini tercatat hampir 700.000 kematian di seluruh dunia. Di Amerika Serikar, penasihat Gedung Putih memperingatkan, virus itu "menyebar sangat luas."

Di negara-negara yang sebelumnya berhasil mengendalikan, wabah kembali merebak, misalnya Australia. Hari Senin, PSBB baru kembali diterapkan di negara bagian Victoria yang terimbas keras. Jam malam juga diberlakukan di Melbourne, ibu kota negara bagian itu, selama enam pekan ke depan. Semua bisnis yang dinilai non-esensial ditutup, dan pesta pernikahan dilarang.

Di Filipina, pemerintah juga menerapkan kembali penutupan wilayah atau lockdown setelah jumlah penularan melampaui 100 ribu. Lebih dari 27 juta orang - termasuk di ibu kota negara itu, Manila, kembali harus diam di rumah selama dua minggu mulai Selasa.

Baca Juga : WHO: Korban Tewas Gempa Turki-Suriah Bisa Capai 20 Ribu Jiwa

Iran, negara yang paling terimbas pandemi di Timur Tengah, melaporkan jumlah penularan tertinggi dalam satu hari dalam hampir sebulan. Pemerintah memperingatkan, sebagian besar provinsi di sana menghadapi perebakan kembali virus corona.

Namun, Amerika Serikat masih menjadi negara yang paling terimbas pandemi. Sejauh ini, dilaporkan 4,6 juta kasus dan hampir 155.000 kematian di negara itu.

Deborah Birx, kepala gugus tugas Covid-19 Gedung Putih, memperingatkan negara itu telah memasuki "fase baru". "Apa yang kita saksikan sekarang berbeda dari apa yang terjadi pada Maret dan April," kata Birx kepada stasiun televisi CNN. Ia menambahkan, virus ini "menyebar sangat luas."

Baca Juga : Wali Kota Makassar Ingatkan Varian Baru Covid-19

Kepala teknis WHO untuk tanggap Covid-19 Maria Van Kerkhove mengatakan kajian baru-baru ini memperkirakan tingkat kematian akibat Covid-19 adalah 0,6 persen. "Mungkin angka itu terdengar tidak besar, tetapi cukup tinggi jika memperhitungkan virus yang mudah menular, yang bisa menular dengan cepat," katanya.

Pandemi mendorong banyak pihak bergegas membuat vaksin. Rusia hari Senin menyatakan akan meluncurkan vaksin secara massal pada September dan memproduksi "jutaan" dosis vaksin setiap bulan sebelum tahun depan.

Sumber: VOA Indonesia

#Covid-19 #WHO