Jumat, 27 Maret 2020 08:30

Tak Perlu Lepas APD, Begini Cara Bersuci dan Salat bagi Tenaga Medis

Alief Sappewali
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Tak Perlu Lepas APD, Begini Cara Bersuci dan Salat bagi Tenaga Medis

Tenaga medis berada di garis depan penanganan wabah virus corona (Covid-19). Mereka menjalani hari-hari dengan pengaturan yang ketat.

RAKYATKU.COM - Tenaga medis berada di garis depan penanganan wabah virus corona (Covid-19). Mereka menjalani hari-hari dengan pengaturan yang ketat.

Setiap hari mereka harus disiplin menggunakan alat pelindung diri (APD). Tidak bisa melepasnya sepanjang hari selama bertugas.

Lantas, bagaimana jika mereka hendak berwudu dan salat? Ustaz Ahmad Hanafi, Lc, MA, PhD menguraikannya secara detail.

Berikut penjelasan ketua STIBA Makassar dan anggota Dewan Syariah Wahdah Islamiyah itu seperti dikutip dari Wahdah.or.id:

Bersuci dan salat bagi seorang muslim adalah dua perbuatan yang memiliki hubungan yang erat, bersuci dari hadats merupakan syarat sahnya salat, berdasarkan hadits Rasulullah-Shallallahu’alaihi wasallam- bersabda, “Kunci salat itu adalah bersuci” (HR. Ahmad No. 1006, Ibnu Majah No. 275, Abu Daud No. 61 & at-Tirmidzy No. 3, dan hadits ini disahihkan oleh al-Albaniy)

“Allah tidak menerima salat salah seorang di antara kalian jika ia dalam keadaan hadats sampai ia bersuci” (HR. Bukhari No. 6954).

Persoalan yang muncul saat ini adalah ketika seorang tenaga kesehatan (nakes) dalam penanganan Covid-19 diwajibkan untuk mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) yang berupa pakaian lengkap, yang aturannya tidak dapat ditanggalkan setiap saat. 

Kecuali pada saat tertentu, di mana terkadang nakes yang mengenakannya melewati dua waktu salat. Terkadang ia dalam keadaan hadats dan belum waktunya dapat melepaskan pakaian tersebut. 

Kondisi ini bertmbah sulit karena jumlah APD sangat terbatas, dan hanya bisa dikenakan satu kali. Maka dalam kondisi seperti ini, bagaimana cara bersuci dan salatnya dalam kondisi seperti ini? Jawabannya dapat disimpulkan dalam beberapa poin berikut ini:

1. Kondisi yang digambarkan adalah kondisi yang dapat dikategorikan darurat atau minimal mendekati darurat. Kondisi yang ada mengharuskan nakes untuk berada dalam pakaian tersebut dalam waktu yang relatif lama. Jika APD tidak dikenakan, maka akan mengancam keselamatan jiwanya dimana ia rentan tertular virus covid-19. Maka dalil dan kaidah yang digunakan adalah sebagai berikut:

Firman Allah Ta’ala:

“Maka bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kesanggupan kalian”. (QS. at-Taghaabun: 16)

Hadits:

“Apabila aku perintahkan kalian satu perkara, maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian”. (HR. Bukhari No. 7288 & Muslim No. 1337)

Kaidah:

“Kesulitan mendatangkan kemudahan” (al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyyah 3/ 19)

Kaidah:

“Menolak mudharat lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan”. (al-Qawaid al Fiqhiyyah wa Tathbiquha fi al Madzahib al-Arba’ah 1/ 238).

2. Sebelum menggunakan APD, maka seharusnya tenaga kesehatannya telah bersuci baik dari hadats kecil dengan berwudu atau hadats besar dengan mandi. Dan semaksimal mungkin setelah mengenakan APD, ia berusaha untuk terus menjaga kondisi suci ini semampu mungkin.

3. Jika dalam kondisi suci, belum ada yang membatalkan wudhunya maka nakes dapat salat sebagaimana biasanya pada waktunya dengan mengenakan APD. 

Namun, jika tidak mungkin melaksanakan setiap salat pada waktunya, maka dalam kondisi ini ia dapat menjamak 2 salat (zuhur dan asar serta salat magrib dan isya) masing-masing sesuai dengan bilangan rakaatnya (tidak diqashar).

Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma, “Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam menjamak salat zuhur dan asar begitu juga salat magrib dan isya tanpa ada rasa takut dan tanpa ada hujan”. Ibnu Abbas ditanya, apa yang beliau inginkan dengan hal ini? Dia berkata: “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya”. (HR. Ahmad No. 3323 Abu Daud No. 1211, at-Tirmidziy No. 187, dan haditsnya disahihkan oleh al-Albaniy).

4. Jika wudunya batal, dan ia masih harus berada dalam kondisi mengenakan APD sementara dikhawatirkan waktu salat selesai, maka dalam kondisi seperti ini ia salat sesuai keadaannya meskipun dalam keadaan terhalang bersuci.

Menurut pendapat yang kuat ia tidak perlu mengqadha (mengganti) salat tersebut. Keadaan ini dapat diqiyaskan dengan kondisi orang yang tidak mampu berwudu dan bertayammum (Faaqidu at-thahurain). 

Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah dalam masalah ini:

“Jika ia dalam semua kondisi tidak mendapatkan apa-apa maka ia salat sesuai dengan keadaannya. Dan ini pendapat Imam Syafi’i.” (al-Mughni 1/ 184).

Berkata al-Hajjawiy rahimahullah:

“Barang siapa tidak mendapatkan air atau debu atau ia tidak mampu menggunakan keduanya karena adanya halangan, seperti seseorang yang memiliki luka bernanah yang kulitnya tidak dapat tersentuh dengan wudhu dan tayammum maka ia wajib melaksanakan salat sesuai keadaannya dan ia tidak perlu mengulangi salatnya”. (al-Iqnaa’ 1/ 54).

5. Jika dalam kondisi tertentu, dengan sebab tugas nakes tidak dapat melaksanakan salat pada waktunya atau tidak dapat menjamak salatnya maka dalam kondisi ini ia segera melaksanakan salat pada saat yang memungkinkan dan menyesuaikan dengan keadaan meskipun waktu pelaksanaanya telah berlalu. 

Kondisi yang seperti ini berdasarkan apa yang dialami oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam beserta para sahabat pada perang Ahzab/Khandaq. Terpaksa menunda pelaksanaan salat asar sampai setelah terbenam matahari karena kesibukan berperang, (silakan dilihat riwayat al-Bukhari No. 4533 & Muslim No. 27). 

Berkata Syeikh Ibn Baz rahimahullah, "Kewajiban bagi seorang muslim untuk melaksanakan salat pada waktunya, dan jangan sedikitpun disibukkan dengan hal yang lain untuk melaksanakan salat, kecuali sesuatu yang darurat yang tidak mungkin dihindarkan, seperti: tindakan penyelamatan orang yang tenggelam, atau korban kebakaran, serangan musuh, maka dalam keadaan ini tidak mengapa ia mengakhirkan salat meskipun waktunya telah keluar. Adapun dalam kondisi normal yang tidak berbahaya, maka tidak boleh menunda salat. Hal ini berdasarkan apa yang sahih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ketika pasukan kota Makkah mengepung Kota Madinah dalam perang Ahzab, beliau menunda pelaksanaan salat zuhur dan asar setelah masuk waktu magrib”. (Fatawa Nuur ‘ala ad-Darb 7/ 94).

Kesimpulan:

1. Kondisi darurat adalah jika APD tidak dikenakan maka akan mengancam keselamatan jiwanya dimana ia rentan tertular virus.

2. Sebelum menggunakan APD, maka seharusnya tenaga kesehatan telah bersuci baik dari hadats kecil dengan berwudu atau hadats besar dengan mandi.

3. Jika dalam kondisi suci, belum ada yang membatalkan wudunya, maka nakes dapat salat langsung sebagaimana biasanya.

4. Jika wudunya batal, dan ia masih harus berada dalam kondisi mengenakan APD sementara dikhawatirkan waktu salat selesai, maka dalam kondisi seperti ini ia salat sesuai keadaannya meskipun dalam keadaan terhalang bersuci.

5. Jika dalam kondisi tertentu, dengan sebab tugas nakes tidak dapat melaksanakan salat pada waktunya atau tidak dapat menjamak salatnya, maka dalam kondisi ini ia segera melaksanakan salat pada saat yang memungkinkan.