Selasa, 17 Desember 2019 10:31

Fakta-fakta Susahnya Melawan Kotak Kosong di Pilkada

Mulyadi Abdillah
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Ilustrasi
Ilustrasi

Calon tunggal petahana saja kewalahan, apalagi non petahana. 

RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Melawan kotak (kolom) kosong di pilkada, bukanlah perkara enteng. Calon tunggal petahana saja kewalahan, apalagi non petahana. 

Faktanya, di Pilkada Bone 2018. Pasangan petahana Fahsar Padjalangi-Ambo Dalle (Tafaddal) nampak kewalahan menghadapi kolom kosong. Pasangan Jilid II ini cuma meraih 62,34%. Kolom kosong 37, 66 Persen.

Pun demikian di Pilkada Enrekang. Sang petahana Muslimin Bando-Asman cuma meraih 67,15 %. Sementara kolom kosong, meraih 31,03%.

Lain lagi fakta di Pilkada Makassar. Kolom kosong justru menang melawan non petahana. Perolehan suara kotak kosong sebanyak 53,23 persen, calon tunggal Munafri Arifuddin (Appi)-A Rachmatika Dewi (Cicu) yang diusung 10 partai besar, cuma mengemas 46,77 persen.

"Biang keroknya adalah, peraturan yang mengharuskan, bahwa kandidat kepala daerah harus mendapatkan suara lebih dari 50% suara sah, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 54D ayat 1," kata Koordinator PT Lingkaran Survei Indonesia (PT LSI) Sulselbar, Komar Adriant kepada Rakyatku.com, Selasa (17/12/2019).

Dia menjelaskan, sebenarnya ada tiga alasan utama, kenapa kolom kosong muncul. Pertama, tidak ada bakal calon lain yang mau bertanding. Pada kasus ini, ada seorang bakal calon, yang dianggap kuat sekali. Sehingga bakal calon lainnya, memutuskan untuk tidak maju bertanding. 

"Kedua, tidak ada bakal calon lain yang bisa maju bertanding. Pada kasus ini, tidak ada bakal calon lainnya, yang memenuhi syarat pendaftaran jalur partai politik, ataupun jalur perseorangan," tambahnya.

Ketiga, kandidat lain kandas setelah proses pendaftaran. Penyebabnya, bisa karena tidak memenuhi syarat pencalonan. Atau bakal calon lainnya meninggal dan tidak ada penggantinya. Dan bisa saja bakal calon lainnya terkena sanksi pembatalan.

Kendati demikian menurutnya, kandidat dengan elektabilitas yang cenderung tinggi, berdasarkan hasil survei, akan tetap mendapatkan kesulitan ketika harus melawan kotak kosong. 

"Kesulitan utamanya adalah, bagaimana mempertahankan elektabilitas tersebut. Dan memastikan bahwa tingkat partisipasi pemilihnya, lebih tinggi daripada yang tidak memilihnya," jelasnya.

Jangan sampai elektabilitasnya, malah menurun. Atau pemilihnya, justru lebih banyak tidak datang ke TPS menggunakan hak pilihnya.

Apalagi, bagi kandidat dengan elektabilitas yang cenderung lebih rendah berdasarkan hasil survei, akan mendapatkan kesulitan lebih tinggi dalam rangka meningkatkan elektabilitasnya.

"Sebab berkurangnya jumlah kandidat menjadi satu orang, tidak otomatis membuat pemilih lain beralih kepada kandidat yang tersedia," papar Komar.

Perlu diketahui, lanjut dia, terdapat kelompok pemilih, yang lebih memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya, daripada memilih kandidat lain. Ataupun bahkan, mereka lebih memilih mencoblos kolom kosong.

"Karena tidak ingin kandidat yang tersedia, duduk sebagai kepala daerah terpilih," sebut Komar.

Nah, kalau kolom kosong menang, berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 54D ayat 3, maka Pilkada akan diulang pada tahun berikutnya. Atau sesuai jadwal yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang undangan.

Peluang inilah, yang coba dilihat bakal calon yang tidak terdaftar, atau figur yang dibatalkan pencalonannya. Artinya, apapun alasan para calon yang tidak terdaftar ini, jika ingin bertanding lagi, maka opsi terbaik adalah membantu kolom kosong menang.

"Kandidat yang melawan kolom kosong, harus berhadapan dengan isu alasan tidak memilih dirinya, alasan dia tidak boleh duduk, dan alasan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya," pungkasnya.