RAKYATKU.COM - Sepanjang 2019 ini, nyaris 50 persen penumpang perempuan mengalami pelecahan seksual di transportasi publik di berbagai kota di Indonesia. Ini menurut survei terbaru Koalisi Ruang Publik Aman (KPRA).
Meski terus terjadi, belum ada efek jera yang dinilai membuat pelaku berpikir dua kali. Hukuman di luar proses persidangan dianggap penting untuk menghentikan rantai pelecehan seksual ini.
Monde, perempuan pengguna transportasi umum di Jakarta, mengaku tak bisa melupakan kejadian yang dia sebut menjijikan.
Suatu kali saat tengah berpergian menggunakan kereta rel listrik (KRL), seorang laki-laki paruh baya mendekatinya. Monde berkata, laki-laki itu melihatnya 'dengan tatapan penuh nafsu'.
"Dia sengaja mendekati saya karena gerbong sebenarnya tidak penuh. Saya langsung pergi, tidak menegurnya."
"Saya hanya balas menatapnya agar dia sadar bahwa saya tahu dia telah melecehkan saya," kata Monde.
Menerima perlakuan itu, Monde kemudian melapor kepada petugas keamanan yang berjaga di dalam gerbong. Sayangnya, pelecehan itu tak sempat diproses karena pelaku kabur.
Walau mendapat pengalaman tak menyenangkan, Monde tak punya pilihan lain. Dia tetap berpergian dengan transportasi publik.
"Sekarang setiap kali naik transportasi umum, saya selalu dalam posisi waspada, itu efek trauma mengalami pelecehan. Saya harus waspada pada setiap risiko keamanan saya," ujarnya.
Monde adalah salah satu responden survei pelecehan seksual di transportasi publik yang dihimpun KPRA.
Jajak pendapat itu melibatkan 62.224 responden. Sekitar 46,8 persen di antara mereka atau 29.120 perempuan mengaku pernah menjadi korban.
Seperti Monde, 3.325 perempuan mengaku pernah dilecehkan laki-laki yang bermain mata dengannya. Ada juga 1.445 responden yang berkata pernah didekati secara agresif dan terus-menerus.
Pelecehan seksual yang paling marak adalah siulan (5.392 orang). KRPA total mengkategorikan 19 jenis pelecehan, termasuk komentar atas tubuh, diraba, gestur vulgar, digesek dengan alat kelamin, hingga dipertontonkan masturbasi.
Dalam survei KRPA, pelecehan seksual paling banyak terjadi di bus, yaitu 35,45 persen. Di peringkat berikutnya adalah angkot (30 persen) dan KRL (17,79 persen).
Kementerian Perhubungan mengakui regulasi di sektor transportasi belum optimal mencegah terjadinya pelecehan seksual terhadap penumpang.
Kepala Pusat Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan Kemenhub, Ari Widianto, menyebut lembaganya sejauh ini baru fokus terhadap ibu hamil, penyandang disabilitas, dan manula.
Setelah publikasi survei ini, Ari berjanji akan berkoordinasi dengan berbagai lembaga advokasi perempuan untuk merumuskan regulasi yang melindungi penumpang perempuan.
"Kami akan merespons data ini, mendorong operator menyempurnakan standar operasional prosedur dan bekerja sama dengan penegak hukum yang dikeluhkan kerap mengesampingkan kasus seperti ini," kata Ari.
"Apalagi sekarang pemerintah berencana membuat omnibus law yang khusus pelayanan kepada masyarakat," tuturnya.
Sumber: BBC Indonesia