RAKYAKY.COM, INDIA - Dia dijuluki 'Mai' yang berarti ibu. Dia telah telah merawat 1.500 anak yatim di Maharashtra sejak tahun 1973.
Hari ini dia adalah ibu angkat bagi keluarga besar yang mencakup lebih dari 270 menantu laki-laki, lebih dari 40 menantu perempuan, dan lebih dari 1.000 cucu.
Banyak anak-anak yang ia adopsi telah menjadi pengacara dan dokter. Beberapa dari mereka, termasuk anak kandungnya, Mamta, bahkan menjalankan panti asuhan mereka sendiri.
Dia juga telah mengumpulkan ratusan penghargaan, dan menjadi motivator.
Namun, perjalanannya untuk sampai ke titik ini sangat berliku dan berduri. Dia telah melalui kekejaman dan penghinaan manusia.
Namanya Sindhutai Sapkal. Dia lahir dari pasangan penggembala sapi di kota Wardha di negara bagian Maharahstra, India.
Ayahnya mendaftarkannya di sekolah pada usia lima tahun. Tapi hak istimewa itu tidak bertahan lama. Ketika dia berusia 10 tahun, dia menikah dengan seorang pria 20 tahun lebih tua darinya.
Pada usia 19 tahun, Sapkal telah melahirkan tiga putra. Tapi ketika dia mengandung anak keempatnya, dia diserang oleh suaminya.
Dia dipukuli lalu dilempar ke kandang sapi di luar rumah mereka. Dia nyaris terinjak-injak sampai mati, tapi pertolongan tuhan datang untuknya.
Seekor sapi betina berdiri melindunginya dari ternak yang panik. Dan di tengah tengah kegentingan, dia melahirkan.
"Saya dilemparkan ke dalam kandang sapi, pingsan, dan ketika saya bangun, saya melihat bahwa saya telah melahirkan bayi saya," katanya.
"Saya melihat sapi ini berdiri melindungi saya dan bayi saya, melindungi kami, mengusir sapi lain. Saya tidak bisa melupakan momen itu."
Pada saat itu, dia menyadari bahwa dia harus memutus tali pusar bayinya. “Tidak ada siapa pun yang bisa membantuku. Jadi saya mengambil batu dan memukul talinyanya sebanyak 16 kali untuk memutuskannya dan akhirnya berhasil."
"Saya segera mendengar tangisan bayi saya yang sehat. Itu adalah momen yang mengubah hidup.”
Tak lama kemudian, mertuanya datang ke kandang dan melemparkan batu ke arahnya untuk mengusirnya dari tempat itu.
"Jadi saya melindungi bayi itu dengan sariku, dan entah bagaimana saya berjalan ke stasiun kereta api,” katanya.
Dia mencapai stasiun kereta api dengan pikiran untuk bunuh diri. Tapi di sana dia melihat pemandangan orang miskin (pengemis dan anak yatim) dan itu membuatnya menyadari bahwa kesedihannya, jika dibandingkan dengan mereka, lebih kecil.
“Saya mulai mengemis di kereta bersama bayi perempuan saya untuk mendapatkan uang."
Dari sana dia menyadari bahwa ada dorongan yang luar biasa dalam dirinya untuk memberi makan dan menghibur anak yatim.
“Saya akan mengemis sepanjang hari dan kembali ke peron untuk menyediakan makanan bagi anak-anak.”
Tapi kemampuan bertahannya memiliki titik lemah. Pikiran bunuh diri terus mengganggunya. Dan suatu hari, ketika pikiran-pikiran ini sangat kuat, seorang pengemis berjalan menghampirinya.
Pengemis itu haus, dan diserang demam. “Dia berteriak meminta seseorang untuk memberinya beberapa tetes air agar dia bisa mati dengan tenang. Itu adalah malam di mana saya telah memutuskan untuk mengakhiri hidup saya dan saya akan makan sendiri, untuk makanan terakhir saya,"
"Ketika saya mendengar dia menangis, saya memutuskan untuk tidak hanya memberinya air tetapi juga beberapa chapatti (roti pipih India)."
Yang mengejutkannya, pengemis itu hidup kembali. Dan sekali lagi, itu membuatnya menyadari betapa kuatnya kehidupan. Jadi dia memutuskan bahwa tidak ada gunanya untuk bunuh diri.
Tetapi untuk hidup, dia harus berjuang keras. "Rasa sakit karena kelaparan begitu kuat sehingga mengajari saya untuk menemukan makanan dengan cara apa pun."
"Saya biasa menghabiskan banyak waktu di pemakaman Hindu karena itu adalah tempat teraman bagi seorang wanita muda. Tidak ada yang berani datang ke sana karena takut hantu. Suatu malam, ketika sangat lapar, saya menjelajahi tempat itu dengan putri kecil saya untuk mencari makanan."
"Saya menemukan beberapa tepung dalam pot tanah yang merupakan persembahan ritual untuk almarhum. Saya segera menambahkan air ke tepung itu untuk membuat adonan chapatti untuk dua orang dan memasaknya di atas bara api pemakaman."
"Sekali lagi saya menyadari betapa ekstrimnya kekuatan bertahan hidup. Seseorang meninggal tetapi mereka meninggalkan kehangatan yang membantu saya hidup.”
Gempuran pengalaman pahit yang tiada henti membuat Sapkal lebih kuat. Tapi dia menyadari satu hal, bahwa putrinya butuh masa depan yang cerah.
Jadi dia memutuskan untuk menyerahkan putrinya diadopsi oleh pasangan kaya, yang tidak bisa memiliki anak. Sementara itu, Sapkal tetap mengasuh anak yatim.
Keputusannya memang benar. Putrinya, Mamta, dapat menikmati kehidupan yang stabil bersama orang tua angkatnya. Dia menempuh pendidikan hingga mendapatkan gelar Master.
Dan setelah lulus, ia berkolaborasi dengan ibunya untuk membangun panti asuhan.
Ketika ketenaran Sapkal menyebar ke desa-desa dan dusun-dusun, populasi suku Maharashtra mendekatinya. Dia kemudian memperjuangkan hak-hak mereka dan meminta pemerintah untuk merehabilitasi 84 desa serta melindungi ternak orang-orang miskin.
“Orang-orang ini telah memberi saya tempat berteduh dan makanan di masa tersulit saya," katanya.
Juga, kenangan tentang sapi yang menolongnya tidak pernah meninggalkan ingatannya, jadi dia memperbaiki kondisi sapi-sapi liar di kota kelahirannya.
Dalam ironi pahit-manis, nama Sapkal semakin besar. Dan cerita tentang dia sampai di telinga mertuanya. Gadis yang pernah mereka cemooh dan lempari dengan batu sekarang menjadi sosok yang mengagumkan.
“Ibu saya sendiri dan mertua saya mengirimi saya karangan bunga. Itu adalah titik balik bagi saya."
Tetapi lebih banyak ironi menghampirinya, terutama setelah dia bertemu suaminya.
“Suatu hari, saya bertemu suami saya yang mengenakan pakaian compang-camping. Saya melihatnya setelah bertahun-tahun dan dia jatuh pada hari-hari yang sulit. Ada air mata di matanya."
"Saya mengatakan kepadanya bahwa rumah saya besar dan dia bisa tinggal di sana bersama anak-anak saya yang lain tetapi bukan sebagai suami."
Suaminya setuju untuk pindah ke panti asuhannya dan hidup di sana hingga akhir hayatnya. Dia dirawat dengan baik, hingga usia 90 tahun.
“Dia meninggal tahun lalu,” kata Sapkal.
Saat ini, Sindhutai Sapkal sudah berusia 71 tahun. Tapi dia masih dipenuhi dengan energi dan memiliki lebih banyak rencana untuk membantu orang lain.
“Sampai hari ini, saya tidak bisa makan banyak dan selalu memastikan anak-anak saya makan sebelum saya makan. Saya tidak takut mati atau bertanya-tanya apa yang akan terjadi pada 'anak-anak' saya."
"Saya tahu bahwa yang lain, yang bisa keluar dari kegelapan akan mengambil alih pekerjaan saya dan memastikan bahwa tidak ada anak lain yang mereka temui yang tertinggal dalam kegelapan itu."
Sepanjang upayanya membantu anak yatim, Sapkal telah mendapatkan lebih dari 273 penghargaan. Dan, semua uang yang ia terima dari setiap penghargaan digunakan untuk membuat lebih banyak rumah bagi anak-anak angkatnya.
Sumber: Gulf News