Rabu, 16 Oktober 2019 14:37

Soal Pelarangan Aksi Jelang Pelantikan Presiden, Begini Respons PBHI

Mays
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Ilustrasi
Ilustrasi

Tindakan dan pelarangan kepolisian terhadap aksi unjuk rasa, disikapi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (PBHI) Sulsel.

RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Tindakan dan pelarangan kepolisian terhadap aksi unjuk rasa, disikapi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (PBHI) Sulsel.

Ketua PBHI Sulsel, Abdul Azis Saleh, SH. MH mengungkapkan, pelarangan ini jelas bertentangan dengan konstitusi dan UU No 9/1998 tentang kebebasan penyampaian pendapat di depan umum.

"Baru dalam sejarah di negara klaim demokrasi di era reformasi hak-hak dasar yg dijamin konstitusi dan dilindungi UU dilarang. Pada periode pertama Presiden Jokowi tidak ada pelarangan. Sungguh aneh," ujar Azis.

Sulsel juga kata dia, kena dampak kebijakan ini, yang jauh dari arena pelantikan presiden dan wakil presiden, dimana tidak memberi pengaruh dalam makna mengganggu pelantikan. Apalagi akan membatalkan agenda nasional dimaksud.

Dalam konteks Jakarta pun kata Azis, kebijakan Polda Metro Jaya, seharusnya hanya menjaga jarak aman dan harus steril tempat pelantikan sementara aksi unjuk rasa pada area yang berbeda. Bukan malah melarang karena itu pelanggaran konstitusi dan UU.

"Seharusnya cara berpikir yang dibangun, pelantikan presiden dan wapres dalam kondisi aman dan steril dengan radius tertentu tetapi juga memberi hak kepada siapapun untuk menyelenggarakan haknya secara bebas," bebernya.

Di banyak negara kata Azis, dengan demokrasi yang sudah mapan akan seperti itu pengaturannya. Bukan dengan alasan dan asumsi seolah jabatan presiden itu jabatan keramat, dan harus didewakan dalam suasana hikmat dan tenang.

"Cara pandang seperti ini akan membahayakan perkembangan demokrasi di masa depan. Apalagi dengan memakai alat-alat kekerasan negara seperti kepolisian atau TNI," sambungnya.

"Juga berulang kali saya tegaskan, bahwa aksi unjuk rasa tak perlu izin dari siapapun hanya berupa pemberitahuan kepada aparat kepolisian agar dapat dikawal pelaksanaan hak dimaksud. Bukan pula menghalangi dengan dalih tidak mau memberikan tanda terima. Pokoknya sudah diberitahukan, selesai," tambahnya.

Kalau dalam aksi ada yang merusak, anarkis dan di luar ketentuan hukum kata Azis, silakan ditangkap dan diproses secara hukum pula. 
"Dan jangan mudah menuduh "ditunggangi" ada provokator dan lain-lain dengan maksud melemahkan gerakan mahasiswa," paparnya.

Penggunaan alasan diskresi oleh kepolisian untuk melarang aksi unjuk rasa kata Azis, tidak tepat dan menyimpangi ketentuan hukum. Diskresi jika dikaitkan dalam unjuk rasa digunakan dalam penanganan aksi anarkis, yang dapat membahayakan nyawa aparat kepolisian untuk mengambil tindakan pencegahan dan atau penyelamatan diri dan bahkan menembak si pelaku anarkis. 

"Dogma umumnya, diskresi dibenarkan sebagai tindakan administratif untuk mengisi kekosongan hukum dan memberi kepastian hukum terhadap suatu hal yang belum diatur. Silakan baca UU No 28/1999 dan UU No 30/2014," ungkapnya.

Aksi unjuk rasa kata dia, jelas pengaturannya di dalam konstitusi maupun UU No 9/1998. "Jadi tidak benar alasan diskresi digunakan untuk melarang aksi unjuk rasa warga negara. Ini kita mau dudukkan cara pandang hukum secara benar, karena kalau dibiarkan akhirnya pandangan yang salah dapat dibenarkan oleh publik dan itu tidak mendidik masyarakat," tegasnya.

Bernegara itu lanjut dia berhukum, dan hanya hukum yang berhak melarang atau membolehkan. Kepatuhan hukum haruslah bersandarkan pada asas legalitas. "Tinggal masing-masing pihak harus tunduk dan patuh kepada ketentuan hukum. Inilah esensi negara Indonesia berdasarkan hukum," pungkasnya.