Kamis, 19 September 2019 10:47

Beratkan Pengusaha Kecil, Fraksi NasDem Parepare Minta Pajak 10 Persen Dikaji Ulang

Ibnu Kasir Amahoru
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Ketua Fraksi NasDem DPRD Parepare Yasser Latief .
Ketua Fraksi NasDem DPRD Parepare Yasser Latief .

Ketua Fraksi NasDem DPRD Parepare, Yasser Latief (YL) meminta Pemkot Parepare mengkaji ulang kebijakan pajak 10 persen yang saat ini sudah berlaku.

RAKYATKU.COM, PAREPARE -- Ketua Fraksi NasDem DPRD Parepare, Yasser Latief (YL) meminta Pemkot Parepare mengkaji ulang kebijakan pajak 10 persen yang saat ini sudah berlaku.

Pengusaha kecil seperti pemilik warung makan dan warkop kecil terus mengeluhkan tingginya pajak, meski pajak itu disebut dibebankan bukan kepada mereka melainkan kepada konsumen.

Setiap konsumen membayar transaksinya di usaha-usaha yang dipasangi alat, langsung ditambah pajak 10 persen. Untuk memastikan pengusaha membayar pajak itu, Pemkot Parepare telah memasang 111 alat perekam transaksi atau Monitoring Payment Online System (M-POS). Rencananya ada 200 alat serupa yang akan dipasang sepanjang 2019 ini.

"Banyak keluhan yang masuk kepada kami. Utamanya dari pemilik warung, warkop bahkan katanya ada penjual bakso. Pendapatan mereka merosot karena konsumen mesti membayar lebih," kata YL.

YL menyarankan, sebelum diterapkan secara keseluruhan, Pemkot mesti memberi cluster atau batasan-batasan usaha mana yang layak dipasangi alat M-POS dan dibebani pajak tersebut.

"Jadi harus ada pemisahan, mana usaha kecil, usaha menengah dan usaha yang sudah besar. Usaha kecil ini-lah yang harus dibantu dulu oleh pemerintah agar besar, baru ditarik pajaknya. Bukannya malah dibebani yang justru bisa mematikan usahanya," tegas Ketua Ikatan Saudagar Muslim Indonesia (ISMI) itu.

YL dengan tegas menyentil Pemkot yang terkesan tidak peduli kepada siapa pajak itu dibebankan. 

"Ini mirip cara-cara Belanda dahulu menarik upeti dari rakyat kecil. Sangat menyusahkan. Padahal, esensi pajak adalah menyejahterakan masyarakat," tegasnya lagi.

Yasser juga menilai kebijakan itu bertentangan dengan teori telapak kaki dan visi kota industri tanpa cerobong asap yang sering digembar-gemborkan walikota. 

"Saya tidak tahu, apakah walikota yang tidak konsisten dengan ucapannya atau stafnya yang tidak mampu menerjemahkan jargon-jargon walikota," tandasnya.