RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Saat ini, polemik revisi UU KPK terus bergulir. Terbaru, pimpinan KPK telah menyerahkan kembali mandat mereka ke Presiden Joko Widodo.
Direktur Jenggala Center, Dr. Syamsuddin Radjab, SH., MH., mengatakan, pada pokoknya ada 3 poin revisi UU KPK, yaitu:
Pertama, Penyadapan. Penyadapan di mana harus ada izin tertulis Dewas KPK kata pria yang akrab disapa Olleng ini, tidak tepat. Alasannya, karena (a), Dewas bukan atasan penyidik; (b) bukan bagian institusi pro justisia; (c) kedudukan non struktural; (d) disfungsi dewas dari sisi filosofi eksistensinya.
Penyadapan kata dia, merupakan tindakan penyidik untuk menemukan pelaku dalam suatu tindak pidana, yang dibenarkan secara hukum. "Dalam soal izin penyadapan, seharusnya hanya pada atasan penyidik KPK yakni pimpinan KPK," ungkapnya.
Kedua, Dewan Pengawas. Dewas kata Olleng, fungsi utamanya adalah pengawasan kinerja (bukan kerjaan), manajemen, keuangan dan perilaku pimpinan-kode etik (bukan saja pimpinan sebagaimana dalam revisi tapi juga semua pegawai KPK).
Dari 6 fungsi yang disebutkan dalam revisi UU KPK beberapa soal yakni:
(a) sifat kemandirian harus inhern dengan sifat kelembagaan KPK yang mandiri dan independen (baik etis mau kelembagaan).
(b) kedudukan Non-Struktural (jika non struktural maka konsekuensinya segala hasil pengawasannya hanya bersifat saran atau masukan. Sebaiknya, kedudukan dewas disebutkan sebagai struktur yang tak terpisahkan dengan KPK dengan tugas dan kewenangan tersendiri.
Dalam kedudukan lembaga demikian juga kontradiksi dengan tugas sebagai pemberi izin dalam penyadapan, dll. "Pertanyaan penting Dewas ini adalah, apakah Dewas lembaga etik atau lembaga fungsional sesuai UU KPK..???" tanyanya.
Ketiga, Penyelidik dan Penyidik. Status Kepegawaian; jenis kepegawaian KPK terdiri dari ASN termasuk polisi dan jaksa dan pegawai kontrak/perjanjian. Eks polisi yang beralih ke KPK kata Olleng, masuk dalam kategori penyidik PPNS bukan penyidik independen.
Mengenai soal pengangkatan/pemberhentian. Hal ini kata dia, disesuaikan saja dengan UU ASN dan UU KPK. KPK kata dia, dapat mengangkat penyidik sendiri (sesuai UU KPK) dengan rekrutmen tersendiri.
"Salah satu masalah besar KPK saat ini kata dosen UIN Alauddin Makassar ini, adalah soal penyidik dari instansi kepolisian yang seringkali bermasalah dengan KPK, seperti yang kita saksikan semua," jelasnya.
Soal SP3; Pasal 109 (2) KUHAP SP3 dibenarkan dengan alasan-alasan tertentu, namun dalam UU KPK, adalah hal yang dikecualikan artinya SP3 di KPK tidak dianut. Namun dalam praktik di KPK, banyak kasus yang tidak dapat ditindaklanjuti, baik karena kurang bukti atau faktor lainnya, lalu dilimpahkan ke lembaga penegak hukum lain.
"Memang ada masalah dengan ketiadaan SP3 di KPK, terutama status seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Dalam KUHAP, seseorang yang sudah menyandang status TSK disegerakan untuk disidangkan pengadilan. TSK bertahun-tahun membuat ketiadaan kepastian hukum dan soal HAM yang harus dilindungi baik tersangka, terdakwa dan juga terpidana," lanjutnya.
Hal lainnya, adalah Penyidik Independen. Hal ini kata Olleng, sebenarnya menjadi kekuatan KPK dengan mengangkat penyidik KPK sendiri Pasal 45 ayat 1, baik berasal dari kepolisian dalam hal ini alih lembaga, maupun rekrutmen terbuka secara umum. Namun tetap harus dilatih dan dididik oleh Polri. Selama ini kata Olleng, penyidik KPK dari Polri dan hanya bersifat alih tugas alis pinjaman sementara waktu, sehingga menimbulkan masalah serius seperti independensi, loyalitas ganda dan bahkan infiltrasi (kuda troya) di KPK.
"Inilah soal utama KPK yang sering ribut dengan Polri hingga saat ini," lanjutnya.
Sayangnya, kritik ke KPK soal fungsi pencegahan, justeru tidak ada dalam rancangan revisi UU KPK ini yang diusulkan oleh DPR. Hal anomali dan malah menyoal aspek tugas, kewenangan KPK dan soal proses penyidikan kasus.
Dengan disetujuinya revisi UU KPK oleh Presiden kata Olleng, bukan berarti KPK sudah tamat. Namun perlu diantisipasi materi substansi atau norma usulan perubahan dan pemuatan norma baru dalam revisi UU KPK, haruslah terus diperjuangkan secara radikal, terstruktur dan sistematis tanpa mengambil langkah-langkah yang merugikan masyarakat dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Yang harus diwaspadai para pegiat anti korupsi, adalah bersekutunya parpol, parlemen, penegak hukum lainnya dan pemerintah yang dengan sengaja akan memperlemah pemberantasan korupsi. Tapi merevisi UU KPK yang mengandung unsur melemahkan KPK, maka rakyatlah yang harus menjawab halangan itu," pungkasnya.