Senin, 15 Juli 2019 16:00

Membincang Karya Tanpa Sekat di Forum Arisan Sastra

Mays
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Para seniman membincang proses kreatif karyanya pada Forum Arisan Sastra di Ram Studio, Sabtu, 13 Juli 2019. (Sumber: Istimewa)
Para seniman membincang proses kreatif karyanya pada Forum Arisan Sastra di Ram Studio, Sabtu, 13 Juli 2019. (Sumber: Istimewa)

Sabtu, 13 Juli 2019. Jarum jam menunjukkan pukul 15.00 Wita. Di ruang segi empat yang cukup luas, di Jalan Daeng Tata Hartaco Indah Blok IV AD/10 Makassar, lima tikar terhampar.

RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Sabtu, 13 Juli 2019. Jarum jam menunjukkan pukul 15.00 Wita. Di ruang segi empat yang cukup luas, di Jalan Daeng Tata Hartaco Indah Blok IV AD/10 Makassar, lima tikar terhampar.

Tiga karpet bulu (permadani), dua tikar dari rotan (jali). Di pinggirnya duduk sekitar dua puluhan seniman yang berjajar tanpa sekat senior yunior.

Di tengah-tengah, dihampar karya-karya seni, baik itu seni lukis maupun tulis. Peserta diberi kebebasan menceritakan proses kreatifnya. Jika butuh presentase, ada LCD yang menyorot ke tembok putih.

Rumah tersebut adalah Ram Studio, milik Asia Ramli Prapanca, salah seorang seniman ternama yang juga Direktur Ram Studio.

Bincang karya sastra tersebut berjalan hingga pukul 21.00 Wita.

Asia Ramli Prapanca bilang, peserta diskusi diundang dengan membawa karya dalam bentuk buku, kopian, baik puisi, cerpen, esai, novel, drama, kritik sasta/seni, sejarah, budaya untuk saling memperkenalkan. 

Dalam diskusi, peserta diberi ruang dan waktu untuk menyampaikan proses kreatifnya dalam berkarya, dan saling membagi pengalaman. 

Peserta juga diberi ruang dan waktu membacakan karya puisinya, juga menampilkan buku dan tulisan di media cetak dan online pada pameran data yang telah disiapkan di studio.

Salah seorang peserta FAS, Chaeruddin Hakim menjelaskan, Forum Arisan Sastra atau FAS tersebut, merupakan forum yang sejak setahun lalu  direncanakan melalui diskusi bersama Chaeruddin Hakim, Yudhistira Sukatanya, dan Muhammad Amir Jaya. Akan tetapi, barulah dibentuk pada tahun ini.

Hal yang mendasari lahirnya FAS lanjut Chaeruddin, adalah, kurangnya ruang dialog bidang pengembangan kesastraan antara satu generasi dengan generasi berikutnya, juga kurang intensifnya ruang apresiasi termasuk kritik pada pelaku sastra pada berbagai media. 

"FAS diharapkan memberi masukan terhadap karya sastra bagi generasi pemula," sambungnya. 

Hingga saat ini, FAS belum memiliki struktur organisasi formal seperti layaknya organisasi pada umumnya.  Dalam beberapa diskusi, FAS diharapkan berjalan secara alamiah tanpa harus terburu-buru membentuk pengurus, tetapi mengikuti perkembangan minat anggota yang terhimpun dalam grup WA.

Orientasi masa depan FAS, adalah munculnya beberapa gagasan, program, dan kerja sama dengan pelaku sastra di tanah air, baik regional maupun nasional. 

Hingga saat ini, jumlah anggota FAS pergaulan WA sebanyak 29 orang.

Asia Ramli Prapanca yang akrab disapa Ram menyampaikan, diskusi ke-4 FAS ini difasilitasi oleh Ram Studio dengan menghadirkan pelaku sastra dari Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Maros, Pangkep, Barru dan Parepare.

Di antara yang hadir dan membacakan karya serta menyampaikan proses kreatifnya, antara lain, Andi Wanua Tengke, Mahrus Andis, Badaruddin Amir, Chaeruddin Hakim, Ishakim, Tri Astoto Kodarie,  Goenawan Monoharto, Ruban (La Ruhe), dan beberapa cerpenis dan penyair muda. 

Diskusi ini juga dihadiri oleh beberapa dosen dan mahasiswa UNM, juga dosen dan mahasiswa ISBI Sulsel.

Menurut Andi Wanua Tangke, setelah sejumlah seniman dan sastrawan Sulawesi Selatan mengungkapkan proses kreatifnya di Ramstudio, terungkaplah tentang keunikan masing-masing dalam proses mencipta. 

Dan keunikan itu kata dia, ternyata tidak kalah dengan keunikan proses kreatif yang dimiliki para sastrawan yang kadang disebut "sastrawan nasional" itu. 

"Misalnya, saya termasuk penganut paham sastra kontekstual, sastra realis yang bertumpu pada ide dan peristiwa yang berpijak. Mungkin hal itu mengental pada diri saya, lantaran saya lahir dari dunia kewartawanan. Sejak masih kuliah di Fakultas Sastra Unhas, saya sudah menjadi wartawan di Harian FAJAR. Ternyata pengalaman itu mengental dalam pikiran-pikiran saya, sehingga karya-karya saya berupa esai, puisi, dan cerpen, sangat dalam kontrol sosialnya," ujarnya.

Andi Wanua Tangke menyampaikan, dirinya tidak bisa menulis prosa yang tidak berangkat dari sebuah peristiwa. 

"Jadi semuanya berawal dari sebuah peristiwa, boleh peristiwa politik, korupsi, pengkhianatan, dendam, kriminal, kemunafikan pejabat, kaum agamawan yang berpura-pura alim, dll," jelasnya.

"Untuk membuktikan itu semua, silakan baca kumpulan cerpen saya yang berjudul  'Panra'ka'. Dan buku kumpulan cerpen saya yang akan terbit berjudul 'Prajurit yang Nakal'. Saya bukan penganut paham imajinasi liar, seperti yang dimiliki sastrawan Danarto dan Budi Darma. Saya pengagum karya-karya sastrawan Mochtar Lubis, S. Sinansari ecip, dan Martin Aleida. Dan ternyata mereka itu juga lahir dari dunia kewartawanan," bebernya.

Akhir diskusi, Mahrus Andis menyampaikan, hakikat suatu karya sastra ialah mengandung 3 unsur: keindahan (estetika), komunikatif (memiliki interaksi sisologis) dan misterius (ada sesuatu yang menarik untuk dijelajahi di baliknya). 

"Ketiga unsur tersebut harus difahami oleh para peminat sastra, terutama mereka yang baru pemula dalam proses tulis-menulis. Dan hal itu telah diperoleh melalui Forum Arisan Sastra (FAS) di pertemuan ketiga di Ramstudio, kemarin," ungkapnya.