RAKYATKU.COM - Kehadiran Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta mengubah wajah ibu kota sekaligus budaya warga. Benarkah proyek itu baru bisa balik modal 81 tahun kemudian?
MRT diresmikan Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada Minggu (24/3/2019). Moda transportasi massal yang dibangun oleh PT Mass Rapid Transit, perusahaan berbasis di Jepang ini mulai beroperasi setelah proses pembangunannya direncanakan selama 14 tahun.
Direktur PT MRT William P Sabandar mengatakan pembangunan MRT fase pertama untuk rute Lebak Bulu hingga Bundera Hotel Indonesia memakan biaya yang tak sedikit. Khusus tahap I itu, pemerintah menggelontorkan investasi senilai Rp16 triliun.
Dana itu terdiri atas biaya patungan antara anggaran pendapatan belanja negara dan daerah yang dilaksanakan pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Saat ini, tarif MRT untuk jarak terjauh Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia (HI) sebesar Rp14 ribu. Sedangkan rute paling pendek hanya akan dikenakan biaya Rp3.000. Artinya, rata-rata tarif MRT berada di posisi Rp8.500.
Peta Koneksi Transportasi Terhubung MRT Jakarta:
— Lucky Nugroho (@silucky) 25 Maret 2019
- MRT Jakarta
- Bus Trans Jakarta
- Kereta Commuter Line
- LRT Jakarta
- RaiLink
- Angkasa Pura
Keren ih! pic.twitter.com/BBo56RmtQ2
Dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (27/3/2019), berdasarkan hasil survei perkiraan jumlah penumpang yang dilakukan oleh PT MRT Jakarta pada tahun 2017, diperkirakan MRT akan mengangkut sekitar 130 ribu orang dalam satu hari.
Bila menggunakan nilai median dari tarif MRT, potensi pendapatan harian dari penjualan tiket bisa mencapai Rp1,1 miliar. Dengan memperhitungkan 300 hari kerja yang ada dalam satu tahun, maka pendapatannya sebesar Rp331,5 miliar.
Bila mengabaikan biaya operasional yang harus dikeluarkan, maka dengan pendapatan sebesar itu, nilai investasi MRT Fase I yang mendapai Rp 16 triliun baru akan terbayar sekitar 48 tahun lagi.
Namun, bila mengacu pada laporan tahunan PT MRT Jakarta, beban usaha (operating expense) sepanjang tahun 2017 mencapai Rp136,2 miliar, naik dari yang sebesar Rp79,4 miliar pada tahun 2016. Meningkat 71,5 persen secara tahunnan YoY.
Dengan begitu, potensi laba kotor (gross profit) perusahaan akan mencapai Rp195,2 miliar, dan biaya investasi baru akan kembali dalam waktu sekitar 81 tahun.