Senin, 18 Maret 2019 16:30

Kala Kontestan Debat Membatasi Diri demi Tata Krama dan Wibawa

Nur Hidayat Said
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno. (Foto: BBC)
Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno. (Foto: BBC)

Debat Pilpres 2019 sesi ketiga telah dipentaskan di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu malam (17/3/2019).

RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Debat Pilpres 2019 sesi ketiga telah dipentaskan di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu malam (17/3/2019).

Berbeda dengan debat sebelumnya, kali ini tak ada kesan mencolok yang terekam dalam debat yang dibagi dalam 6 segmen itu. 

Tak ada ucapan maupun gesture yang berlebihan. Nyaris datar dan tertata mengikuti tema dan setiap pertanyaan yang disampaikan moderator.

Pakar Politik Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Andi Luhur Prianto menyebut kontestan debat kali ini, Ma'ruf Amin dan Sandiaga Salahuddin Uno, tampak membatasi diri. 

Alasan tata krama kesopanan, saling jaga wibawa dan kehormatan jadi dalih kedua cawapres itu dianggap tak mengekspresikan diri selayaknya kontestan sebuah pagelaran debat.

"Secara keseluruhan, debat ini terlalu soft (halus), monoton dan penuh tata krama. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kedua cawapres sepertinya terlalu memproteksi wibawa dan kehormatan kontestan debat. Padahal esensi debat dalam konteks elektoral adalah menguji kapasitas dan quick-respons kontestan atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi bangsa ini," ungkapnya saat dikonfirmasi Rakyatku.com melalui aplilasi pesan, Senin (18/3/2019).

Menurut Luhur, dalam debat ketiga ini, petahana memilih bermain pada status-quo gagasan yang cenderung mereduksi masalah. Sehingga, Ma'ruf lebih terpaku pada konsep tertulis yang disiapkan.

"Dengan demikian, pertanyaan maupun kritik dari penantang tidak direspons secara proporsional. Sementara penantang lebih fleksibel mengembangkan gagasan menjadi target-target program. Bahkan berusaha merespon rencana program yg berbasis pengalaman (evidence-based policy)," bebernya.

Luhur mengamati dalam debat kali ini seperti ada posisi yang tertukar. Petahana disebutnya banyak membangun proyeksi dengan gagasan yang simplistik (disederhanakan) dan terfokus konsep. Sementara, kata Luhur, justru penantang yang hadir dengan penguasaan masalah dan solusi program berbasis pengalaman.

"Basis argumentasi yang dibangun cawapres petahana cenderung merepetisi (mengulang) jawaban. Sebaliknya cawapres penantang bisa menghadirkan alternatif program untuk penyelesai masalah yang dihadapi," pungkas Wakil Dekan II FISIP Unismuh Makassar ini.