RAKYATKU.COM - Polisi Amerika menembak mati hampir 1.000 orang setiap tahun. Data ini dikumpulkan Washington Post. Dimana data tiap tahun hampir selalu sama.
Pada 2018, tercatat 998 orang ditembak hingga tewas oleh polisi, jumlah ini meningkat dari 2017 yang tercatat sebanyak 987 orang. Sementara pada 2016 tercatat 963 orang tewas ditembak polisi dan pada 2015 jumlahnya mencapai 995 orang.
Korban penembakan ini 45 persen merupakan pria kulit putih, dan 23 persen pria kulit hitam. Sedangkan 96 persen korban penembakan ini ialah mereka yang memegang senjata dimana setengahnya membawa pistol. 25 persen korban disebut mengalami tekanan mental saat peristiwa penembakan terjadi dan hanya 5 persen korban perempuan.
Investigasi lain dari situs Pemetaan Kekerasan Polisi (Mapping Police Violence), sebuah situs yang melacak penembakan dari perspektif aktivisme kulit hitam, mencatat polisi menembak 1.166 orang pada 2018.
Beberapa kasus penembakan ini menjadi headline di media massa. Penembakan Michael Brown, pria kulit hitam tanpa senjata, yang dilakukan polisi di Ferguson, Missouri pada 2014 memunculkan perdebatan panas terkait brutalitas dan rasisme polisi dan memicu munculnya gerakan Black Lives Matter.
Kematian Jemel Robertson, petugas keamanan di Chicago yang ditembak hingga tewas oleh polisi saat sedang berupaya menghentikan penembakan tahun lalu menggambarkan dalam empat tahun terakhir Amerika tengah berjuang dengan dua masalah yaitu rasisme dan kekerasan senjata.
Polisi berinteraksi dengan publik sekitar 50 juta kali per tahun, dan dari interaksi ini 0,00002 menyebabkan penembakan fatal. Interaksi dapat berakhir dengan kekerasan mematikan karena sejumlah alasan. Dikutip dari merdeka.com, seperti penyerang brutal menembaki publik sebelum polisi melumpuhkannya dan penembakan seorang remaja yang membawa pistol replika dimana polisi mengira sebagai senjata asli.
Beragam faktor dikemukakan untuk menjelaskan tingginya tingkat penembakan fatal polisi. Kepemilikan senjata yang meluas menjadi salah satu pemicu. Negara bagian seperti Alaska, Georgia, Idaho, Kentucky dan Louisiana dengan kepemilikan senjata yang tinggi terdapat insiden 3,6 kali lebih banyak dibandingkan negara bagian dengan kepemilikan senjata yang rendah seperti Connecticut dan Massachusetts.
Kebijakan polisi juga dinilai menjadi faktor tingginya angka penembakan oleh polisi ini. Washington DC, salah satu kota paling berbahaya di AS dimana polisi menyita lebih dari 2.000 senjata ilegal pada 2017. Meskipun termasuk wilayah berisiko tinggi, polisi DC hanya menembak dua orang pada tahun tersebut. Dua dekade sebelumnya, petugas dilatih kembali setelah menembak 15 orang per tahun.
New York juga menerapkan beberapa pembatasan pada penggunaan kekuatan NYPD pada 1970-an, yang menurunkan tingkat penembakan fatal dari 93 pada 1971 menjadi 41 dua tahun kemudian. Meskipun penumpasan kejahatan di seluruh kota pada 1990-an, penembakan yang melibatkan petugas tetap rendah. Pada 2015, hanya delapan tersangka - satu dari sejuta warga New York - yang ditembak dan dibunuh polisi.
Namun demikian, jumlah orang yang terbunuh setiap tahun terus mendekati angka tetap. Kami mencermati data ini dengan berbagai sudut pandang termasuk apakah ras, geografi, kejahatan dengan kekerasan, kepemilikan senjata atau pelatihan polisi dapat menjelaskannya, tetapi tidak satu pun dari faktor-faktor itu saja yang dapat menjelaskan seberapa konsisten angka ini muncul, kata kriminolog Geoffrey Alpert kepada Washington Post.