Minggu, 10 Februari 2019 01:30

Kisah Negeri di Afrika yang Kembali ke Nama Aslinya

Eka Nugraha
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Kisah Negeri di Afrika yang Kembali ke Nama Aslinya

Bulan April lalu, Raja Swaziland -Raja Msawti III- mengumumkan sebuah kejutan: negara Afrika tersebut akan menggunakan kembali nama pribumi mereka, eSwatini.

RAKYATKU.COM --- Bulan April lalu, Raja Swaziland -Raja Msawti III- mengumumkan sebuah kejutan: negara Afrika tersebut akan menggunakan kembali nama pribumi mereka, eSwatini.

BBC melansir, dalam rangka ulang tahun kemerdekaan Swaziland yang ke-50 dari kekuasaan Inggris April lalu, sang raja, Raja Mswati III, memberikan pengumuman mengejutkan: negara di benua Afrika tersebut akan berhenti menggunakan nama kolonial mereka. Sebagai gantinya, negeri itu akan kembali dikenal dengan nama asli mereka, eSwatini, yang bermakna 'tanah para orang Swazi'.

Pengumuman tersebut pada awalnya menimbulkan kebingungan.

"Dalam bahasa siSwati, diterjemahkan secara harfiah, sang raja berkata 'mulai sekarang, kerajaan eSwatini akan (kembali) disebut sebagai kerajaan eSwatini'," ujar Jessica Elliott, penulis blog travelling How Dare She asal Amerika, yang hadir pada peringatan ulang tahun emas kemerdekaan tersebut.

"Kebingungan masih berlangsung hingga akhirnya terjemahan dalam bahasa Inggris disampaikan melalui pengeras suara dan semua orang pun paham dan bereaksi. Mereka terkejut, namun menyambutnya dengan antusias."

Jiggs Thorne, yang lahir di eSwatini dan menciptakan festival tahunan Bushfire Music Festival di sana, juga terkejut, namun bahagia dengan keputusan negaranya kembali menggunakan nama asli mereka.

"Perubahan nama negara itu bukan sesuatu yang biasa terjadi," tuturnya. "Perubahan tersebut belum berdampak pada festival kami tapi mungkin akan terjadi ketika kami mendatangi pameran musik sebagai sebuah festival dari eSwatini dan banyak peserta yang tak tahu siapa kami dan dari negara mana kami berasal."

Meski memasarkan sebuah nama baru selalu menantang, warga di sana sangat senang dengan perubahaan tersebut. Kami berbincang dengan beberapa di antara mereka untuk memahami kebanggaan yang dirasakan di negeri dengan nama terbaru di dunia.

Negara tak berpesisir di tenggara benua Afrika ini memang tidak luas, namun pemandangan alamnya sangat beragam, baik kawasan pegunungan yang sejuk, maupun area dataran rendah yang panas dan kering.

Peraturan yang progresif terkait pelestarian lingkungan di sana berhasil melindungi lansekap alam eSwatini, yang terus menjadi daya tarik bagi wisatawan maupun penduduk baru.

"Anda pasti akan terpukau dengan keindahan alam negeri ini, dengan pegunungan dan pemandangannya yang cantik. Betapa hijaunya negeri ini dan lingkungan alamnya," ujar Lindokuhle Mthupha yang tinggal di ibukota eSwatini, Mbabane. 

"Saya mengunjungi Swaziland selama dua minggu untuk suatu pekerjaan lepas dan (akhirnya) tak pernah meninggalkan negeri ini," ungkap Ruth Buck, pemilik Hotel Foresters Arms, yang dibangun sekitar 30 kilometer di barat-daya kota Mbabane, yang asli Afrika Selatan.

"Saya suka menyetir di sini, menikmati pemandangan yang beragam, mendatangi pasar Swazi yang hidup suasananya. Sungguh ini adalah negeri yang indah dengan suasana yang hangat, sangat mudah (bagi saya) untuk tinggal di sini." Buck juga merasa disambut dengan hangat oleh warga, yang ia anggap sangat ramah, humoris, dan dermawan.

Robert Jupp, direktur pelaksana Mantenga Lodge, yang lahir di eSwatini, kembali ke negaranya setelah mengenyam pendidikan di Afrika Selatan.

"Saya suka ketenteramannya, keindahan alamnya, kebebasan di sana, betapa ramahnya warga dan iklim di sana," paparnya, sambil mengungkapkan bahwa ukuran negara yang kecil justru membuatnya mudah bepergian, dan orang-orang pun bersedia dengan ramah membantu pendatang baru menjelaskan arah.

"Sungguh ini adalah negeri yang indah dengan suasana yang hangat"

Dua kota yang menjadi pusat aktivitas penduduk, Mbabane (ibukota) dan Manzini (kota terbesar), tetap terbilang kecil jika dibandingkan dengan kota di negara lain (hanya 76 ribu dan 110 ribu penduduk masing-masing), dengan ritme kehidupan yang santai dan jarang sekali orang tampak terburu-buru.

"Kami tak pernah tergesa-gesa dalam segala sesuatu… segalanya," ungkap Mthupha. "Kami sangat santai dan rileks."

Kebanyakan orang berbahasa Inggris dan siSwati, namun warga kerap menggunakan bahasa siSwati saat menyapa maupun berpisah - istlah sapaan dan salam yang hangat selalu menjadi bagian penting dalam budaya di sana.

"Kami suka menyapa siapa saja, termasuk orang asing," papar Mthupha. "Kami adalah bangsa yang suka kedamaian, baik hati, rendah hati, dan optimistis. Siapa pun yang berkunjung ke negara kami selalu membuktikan hal itu, bahwa kami bangsa yang rendah hati dan penuh kasih sayang."

Perayaan warisan budaya juga menjadi bagian penting kehidupan di eSwatini. "Kami punya banyak upcara adat yang menarik banyak orang, dan di sanalah kami benar-benar merayakan kebanggaan sebagai LiSwati [sebutan bagi orang Swazi]!" tambah Mthupha.

Tarian Alang-alang, yang digelar setiap bulan September, dimulai dengan para perempuan muda memotong banyak alang-alang untuk dipersembahkan kepada Ibunda Ratu eSwatini, lalu mengenakan pakaian adat untuk pertunjukan tari dan musik.

Festival Incwala, yang diselenggarakan di antara bulan Desember dan Januari, menjadi penanda digelarnya perayaan kerajaan yang melibatkan ritual pensucian yang memakan waktu berhari-hari, pawai megah di mana raja dan personel militer mengenakan pakaian khas kerajaan, serta upacara pembakaran di mana sejumlah benda sengaja dibakar untuk melambangkan berlalunya tahun yang lama.

Sebagai salah satu negara dengan sistem monarki absolut yang tersisa di dunia, beberapa tahun terakhir, eSwatini bergelut dengan masalah kesenjangan sosial antara pejabat pemerintahan (termasuk Raja Mswati III) dengan penduduknya.

Perayaan ulang tahun emas kemerdekaan eSwatini juga memakan biaya yang sangat mahal, dan mempertontonkan ironi antara perayaan kebudayaan dan rasa frustrasi terhadap pemerintahan.

"Ada kebanggaan terhadap budaya Swazi yang sangat terasa dan masyarakat pun tampak tak ragu menunjukkannya [pada perayaan kemerdekaan]," ujar Elliot.