Selasa, 17 Januari 2023 15:04
Editor : Redaksi

JAKARTA -- Majelis hakim menunda sidang lanjutan uji materiil aturan mengenai sistem proporsional terbuka sebagaimana diatur dalam Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Penundaan ini menyusul permintaan DPR yang ingin sidang tersebut diubah menjadi luring di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK).

 

“Untuk itu, pada pagi hari tadi, Mahkamah Konstitusi di dalam Rapat Permusyawaratan Hakim telah mengabulkan permohonan dari DPR untuk sidang secara luring,” ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang keempat perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut.

Untuk itu, MK harus memberi tahu kepada pihak-pihak lain, yaitu Presiden dan para Pemohon tentunya termasuk pihak terkait KPU beserta 11 Pihak Terkait lainnya. Selain itu, MK memerlukan sejumlah persiapan dari sisi sarana dan prasarana untuk kembali melaksanakan sidang secara luring.

Baca Juga : Tim Hukum Golkar Sulsel Ikuti Bimtek Hukum Acara PHP yang Diselenggarakan MK

“Untuk itu sekali lagi untuk sidang secara luring atau sidang pada hari ini ditunda pada hari Selasa, 24 Januari 2023 jam 11.00 WIB,” ujar Anwar.

 

Kemudian, Anwar juga menyampaikan sidang kelima Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 yang digelar pada 24 Januari 2023 tersebut, akan menjadi sidang luring atau tatap muka pembuka setelah pandemi Covid-19.

"Sidang pada 24 Januari 2023 akan menjadi sidang pertama atau pembuka untuk sidang luring atau tatap muka untuk perkara-perkara lain atau pada sidang-sidang lainnya yang akan datang," tandas Anwar.

Baca Juga : Ratusan Mahasiswa Merangsek Masuk ke Pelataran Gedung DPRD Sulsel, Tolak Revisi UU Pilkada

Sebagai informasi, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.

Saat sidang pendahuluan di MK pada Rabu (23/11/2022), para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.

Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

Baca Juga : Sukseskan Pemilu, Damkar Makassar Siapkan 14 Armada Siaga 24 Jam

Para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Sistem proporsional terbuka dinilai Pemohon menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal a quo dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil.

Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.