Selasa, 08 Maret 2022 09:53
Ashraf bersama keluarganya. Foto: BBC Arabic)
Editor : Nur Hidayat Said

RAKYATKU.COM - Saat itu pukul lima pagi, Omar terbangun karena suara letusan tembakan dan ledakan dekat rumahnya di Kyiv, beberapa pekan lalu.

 

Suara yang sangat akrab ditelinganya: "deja vu" yang kejam saat hidup bertahun-tahun di Suriah, negara kelahirannya.

Omar adalah satu dari tujuh warga Suriah yang meninggalkan negara itu karena dilanda perang saudara selama 11 tahun, untuk mencari kehidupan yang damai di negara lain.

Baca Juga : Kemenag dan Baznas kirim 10 Truk Bantuan Kemanusiaan untuk Palestina

Dia sudah tinggal selama empat bulan di ibu kota Ukraina bersama istrinya, Irina.

 

Saat hidupnya mulai makmur lewat usaha bisnis disain interior yang akhirnya mendapat pelanggan tetap, pasangan ini malah terlempar kembali ke zona perang dalam waktu semalam.

"Delapan ledakan kuat menggetarkan pintu dan jendela rumah kami," kata Omar kepada BBC.

Baca Juga : Masyarakat Luwu Utara Kirim Donasi untuk Palestina

Itu baru awal dari serangan mematikan yang diluncurkan oleh pasukan Rusia melalui udara, darat dan laut di pelbagai wilayah Ukraina.

Omar memutuskan, inilah waktunya untuk mempraktikan langkah-langkah darurat yang pernah ia pelajari selama perang di Suriah.

"Kami menunggu satu jam setelah mendengar ledakan bom, kemudian kami keluar untuk mengisi tangki mobil dengan bensin.

Baca Juga : Korban Tewas di Palestina Tembus 14 Ribu Orang, 5.600 Anak-anak

"Itu berlangsung sekitar dua jam, karena antrean di SPBU. Kemudian kami pergi ke supermarket, dan kemudian mengantre sekitar tiga jam hingga kami dapat membeli kebutuhan cadangan."

Makanan, baterai, dan lampu bohlam merupakan sebagian perbekalan dasar yang mereka cari.

Mengubah Rubanah Jadi Ruang Berlindung dari Bom
Tembok dingin, atap rendah yang mengelilingi materi bangunan, kantong plastik dan barang-barang berdebu di rubanah, menjadi satu-satunya andalan mereka berlindung dari pasukan Rusia yang makin mendekat ke jantung ibu kota Kyiv setiap hari.

Baca Juga : Tidak Bertindak atas Kekerasan Israel Terhadap Palestina, FIFA Dikecam

Di sebuah sudut rubanah tua, sekarang sudah diubah menjadi lokasi berlindung dari bom. Seprai, selimut dan bantal dibentuk sedemikian rupa menjadi tempat.

Sementara itu, meja kecil, buah apel segar, dan teh menjadi harapan pasangan ini menghadapi musim dingin, ketika temperatur udara bisa mencapai minus enam derajat Celsius.

Ada satu titik rawan di tempat yang miskin sirkulasi udara ini yaitu pencahayaan. Namun, hal ini akan dibantu dengan cahaya redup dari bohlam bertenaga baterai yang mereka sudah beli.

Baca Juga : Menag Terbitkan Edaran Aksi Solidaritas & Doa Bersama Untuk Palestina

Waktu bergerak lambat, sembilan belas langkah di bawah lantai, dan pasangan ini mencoba yang terbaik untuk mengatasi rasa takut.

Rasa takut yang meningkat setelah melihat pemberitaan dari stasiun media lokal sebelum memutuskan untuk bersembunyi di bawah tanah.

"(Kami takut) karena kami melihat apa yang terjadi di Kharkiv dan kota-kota yang telah dibumi hanguskan oleh Rusia.

"Kami melihat Rusia mengebom sebuah stasiun televisi dan ini membuktinya bahwa target mereka bukan hanya instalasi militer.

"Kami melihat bagaimana kematian dari warga sipil," kata Omar.

Kota terbesar di Ukraina setelah Kyiv adalah Kharkiv, yang menjadi target pertama bom pasukan Rusia setelah invasi dimulai pada 24 Februari lalu.

Pada hari keenam invasi, kota yang berada di timur laut ini menjadi berita utama dunia setelah rudal dan roket Rusia menghancurkan jantung budaya kota ini.

Sebuah rumah opera, ruang konser, dan gedung pemerintahan dihancurkan di Freedom Square di pusat kota.

Sedikitnya 10 orang tewas dan 35 lainnya mengalami luka, menurut laporan otoritas setempat saat itu.

Rusia Lagi, Rusia Lagi
Deja vu Omar tentang perang di Ukraina ini juga merupakan pertemuan kembali dengan pasukan Rusia, yang pernah melakukan serangan udara dan operasi militer dalam perang saudara di Suriah sejak September 2015.

Bersama dengan pasukan Hezbollah Lebanon, dan Iran, Rusia merupakan pendukung jangka panjang Presiden Suriah Bashar al-Assad, yang menggantikan peran ayahnya, Hafez setelah meninggal pada 2000.

Rusia punya basis militer di Suriah sebelum perang dimulai. Ketika pemerintah Rusia mengatakan serangan militernya hanya menargetkan "kelompok teroris", namun para aktivis mengatakan mereka secara berkala membunuh pemberontak arus utama dan warga sipil.

"Saya tahu, kekejaman dan kekerasan dari agresi Rusia," kata Omar kepada BBC.

Hampir 12.000 anak-anak tewas atau mengalami luka karena perang Suriah, menurut Unicef, badan PBB yang menangani anak-anak.

Kelompok pengawas dari Violations Documentation Centre yang mendapat informasi dari aktivis di seluruh Suriah, mencatat apa yang disebut mempertimbangkan pelanggaran hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia, termasuk serangan terhadap warga sipil.

Kelompok ini mendokumentasikan 226,374 korban jiwa akibat perang, termasuk 135,634 warga sipil pada Desember 2020.

"Haruskah Saya Membawa Keluarga Saya dari Satu Perang ke Perang Lainnya?"
Ashraf Rosh, seorang warga Palestina yang lahir di jalur Gaza sudah tinggal di Kryvyi Rih sejak 2009 bersama dengan istri dan dua anaknya, termasuk ayah tiri, dan kakak tiri.

Dia bekerja sebagai seorang teknisi elektronik di Kyiv.

Anaknya baru memasuki tahun pertama kuliah di Universitas Kharkiv, dia mempelajari tentang mesin pesawat jet.

"Dia sangat senang, sampai semester pertamanya di kampus," katanya kepada BBC.

"Semester kedua, semestinya dimulai Senin. Sekarang dia sedih karena dia merasa bahwa dia sudah kehilangan masa depan, dan kampusnya karena serangan ini."

Sama seperti Omar, perang bukanlah sesuatu yang baru bagi Ashraf.

Dia meyakini, bagaimanapun, bahwa konflik ini mungkin akan lebih berbahaya dari apa yang pernah ia alami saat di Gaza.

"Sejak saya menjadi seorang warga Palestina, ini bukan pertama kali saya menyaksikan perang. Tapi perang ini, jika ini makin meluas, maka ini tidak akan menjadi sesuatu yang biasa," katanya, merujuk pada persenjataan nuklir Rusia.

Lebih dari 1,5 juta orang meninggalkan Ukraina, menurut laporan PBB.

Namun, Uni Eropa memperkirakan kemungkinan lebih dari empat juta orang yang meninggalkan Ukraina karena invasi Rusia.

Masa depan masih belum jelas bagi Ashraf, keluarganya, dan pengungsi perang lainnya di Ukraina. Namun, pergi kembali ke tanah kelahiran mereka bukanlah sebuah pilihan.

"Sebagai seorang Palestina dan, berasal dari jalur Gaza, saya tak punya pilihan. Pilihan saya adalah kekhawatiran, keterbatasan, dan ketidakjelasan. Haruskah saya membawa keluarga dari satu perang ke perang lainnya?"

Sumber: BBC Indonesia

BERITA TERKAIT