Selasa, 22 Juni 2021 16:15
Foto: vice.com
Editor : Fathul Khair Akmal

RAKYATKU.COM - Sebagian besar warga desa di kawasan hutan bali" href="https://rakyatku.com/tag/bali">Bali utara, bernama Bengkala menggunakan bahasa isyarat. Bahasa isyarat ini sudah menjadi mode komunikasi utama beberapa generasi.

 

Bukan tanpa alasan. Ternyata, kebanyakan warga Bengkala menderita tuli" href="https://rakyatku.com/tag/tuli">gangguan pendengaran. Makanya, dalam bahasa Bali, nama desa 'Bengkala', sering dikenal dengan sebutan “Desa Kolok”—desa tuli.

Kata kolok, yang secara bebas bisa dimaknai sebagai "bahasa tunarungu” adalah sistem bahasa isyarat unik yang sepenuhnya terpisah dari bahasa isyarat Indonesia.

Baca Juga : Dirut PLN Tinjau Posko Utama Kelistrikan KTT WWF, Pastikan Seluruh Sistem Kelistrikan di Bali Andal

Sekadar informasi saja, jumlah penduduk desa Bengkala yang tuli sejak lahir, berada di atas rata-rata selama tujuh generasi terakhir. Saat ini, 42 orang dari nyaris 3.000 warga Bengkala menderita tuli sejak lahir.

 

Sebagai perbandingan, hanya dua atau tiga dari 1.000 bayi lahir tuli atau menderita gangguan pendengaran parah.

Tingginya persentase penderita gangguan pendengaran di Bengkala disebabkan oleh sebuah gen resesif yang endemik bernama DFNB3, yang terdeteksi di Bengkala dalam rentang tujuh generasi terakhir. Selama bertahun-tahun, penduduk setempat menganggap gangguan pendengaran sebagai kutukan.

Baca Juga : 19 Titik GraPARI di seluruh Indonesia Siap Melayani Kebutuhan Disabilitas Teman Tuli

"Konon, ada dua orang sakti yang bertarung dan akhirnya saling mengutuk sama lain hingga tuli,” ujar Ida Mardana, kepala desa Bengkala, yang fasih bicara dalam bahasa Bali, Indonesia dan Inggris.

Menurutnya, Bengkala sendiri berarti “tempat seseorang menyembunyikan diri,” dilansir dari bali-berkomunikasi-memakai-bahasa-isyarat">vice.com.

Alih-alih mengucilkan kaum tunarungu di sekitar mereka, warga desa Bengkala malah berusaha beradaptasi dengan kehidupan para penyandang gangguan pendengaran.

Baca Juga : 4 Februari, Indonesia Buka Kembali Penerbangan Internasional ke Bali

Tak ayal, di Bengkala, penduduk setempat sering terlihat bicara sambil membuat isyarat dengan kedua tangan mereka. Lebih jauh, penduduk yang memiliki pendengaran normal mengajarkan kata kolok pada anak-anak di rumah mereka sebagai bahasa kedua atau ketiga.

Dengan demikian, mereka bisa menanamkan rasa hormat dan empati pada penyandang tunarungu dalam generasi muda Bengkala.

Di sisi lain, penguasaan kata kolok mutlak diperlukan, sebab penduduk dengan pendengaran normal pun berpeluang melahirkan seorang anak yang tuli dari lahir.
Pasalnya, 10 persen warga desa Bengkala yang bebas dari gangguan pendengaran, membawa serta gen tuli resesif dalam diri mereka.

Baca Juga : Tampil Beda, Harper Perintis Makassar Hadirkan Nuansa Bali-Sulawesi di Malam Tahun Baru 2022

“Siswa tunarungu dibiarkan belajar bersama-sama siswa normal,” ujar Mardana.

“Gurunya sendiri menggunakan dua bahasa: bahasa lisan dan bahasa isyarat sekaligus.”
Hasilnya, nyaris semua orang di Bengkala akrab dan mampu berkomunikasi dengan kata kolok; warga yang tuli dan bisu pun bisa bercakap-cakap tanpa gangguan. Mengutip kata-kata penulis buku Invisible People,
"Menderita gangguan pendengaran di Bengkala bukan hanya ditanggung oleh kaum tunarungu belaka. Ketulian sudah jadi bagian tak terpisahkan dari seluruh komunitas desa Bengkala.”

Perbedaaan antara penduduk normal dan penyandang tunarungu di Bengkala nyaris tak terasa.

Baca Juga : Pemkab Barru Teliti Empiris Tempat Olah Sampah di Klungkung Bali

“Saya merasa setara dengan orang lain,” ungkap Wayan Sandi, lelaki tunarungu berusia 72 tahun, dengan kata kolok. Sandi menyatukan ujung-ujung jari telunjuknya—lambang kesetaraan dalam kata kolok. “Kami sudah hidup sebagai sebuah komunitas di sini.”

Namun, jika komunikasi tak lagi jadi penghalang di desa Bengkulu, bahasa tetap menjadi masalah di luar desa. Khususnya, ketika penduduk tunarungu berusaha menjual hasil pertanian dan peternakan mereka di pasar. Masalah muncul ketika mereka tak bisa bercakap-cakap dengan orang lain yang tak mengenal kata kolok.

Mayoritas penduduk Bengkala, layaknya Sandi, adalah petani papa yang menghidupi keluarganya dengan menanam pisang, jambu, mangga, mengumpulkan rumput gajah, atau beternak sapi, babi serta ratusan ekor ayam.
Di pasar tradisional, penduduk Bengkala penyandang tunarungu mengandalkan batu timbangan dan isyarat tangan saat menjual hasil tani serta ternak mereka.

"Kadang penduduk penyandang tunarungu agak susah berkomunikasi (di pasar),” tutur Kadek Sami, perempuan berpendengaran normal, ibu dari dua anak normal dan istri seorang penyandang tunarungu. “Tapi mereka bisa mengatasinya pakai bahasa isyarat sederhana.”

Penyandang tunarungu dari generasi yang lebih muda belakangan mulai melirik bentuk komunikasi baru, entah itu ponsel, media sosial bahkan bahasa isyarat internasional.
Beberapa tahun terakhir, semakin banyak remaja tunarungu dari Bengkala yang diterima di sekolah umum berasrama di Jimbaran. Di sana, mereka bisa belajar Bahasa Isyarat Indonesia dan bergabung dengan komunitas tunarungu yang lebih luas dari seluruh Indonesia.

Sayangnya, saat ini hanya lima orang penduduk tunarungu yang melek aksara. Bagi Mardana, yang sudah menjadi kepala desa Bengkala sejak 2010, angka ini jauh dari menggembirakan. Bengkala adalah desa miskin dan tingkat pendidikan penduduknya sangat rendah—dua masalah pelik ini paling parah dialami penyandang tunarungu yang kesusahan berkomunikasi dengan orang di luar Bengkala.

"Penduduk kolok ini menjadi warga yang lebih berguna," kata Mardana. "Saya ingin mereka mulai melibatkan diri dalam kegiatan komunitas desa Bengkala. Dengan demikian, mereka bisa lebih mandiri dan memperoleh pendapatan yang lebih baik.”

Berkat usaha keras Mardana, Pemerintah dan Pertamina menghibahkan infrastruktur pertanian baru dan membangun gedung-gedung baru di desa Bengkala. Selain itu, diselenggarakan pula pelatihan yang memberikan keterampilan baru, seperti merajut, bagi penduduk kolok.

Di tataran pergaulan internasional, sejumlah ilmuwan, sosiolog dan wisatawan tunarungu asing mulai berdatangan ke desa Bengkala untuk belajar atau sekadar menyaksikan keseharian penyandang tunarungu di Bengkala.

Sayang, hanya sedikit yang tinggal cukup lama dan memberikan dampak positif yang langgeng bagi Bengkala.

Malah, inisiatif yang paling berhasil memberdayakan kaum tunarungu di Bengkala adalah pengenalan dan pengembangan janger kolok , alias "tarian penyandang tunarungu.” Tarian ini secara spesifik diciptakan untuk para penderita gangguan pendengaran dan telah jadi salah satu karya seni paling dibanggakan dari Bengkala selama tiga dekade ke belakang.

Penari tunarungu dari Bengkala manggung setidaknya tiga kali dalam sebulan. Grup penari ini terdiri dari 16 penduduk tunarungu dengan rentang usia antara 16 hingga 72 tahun. Para penari ini memperagakan gerakan tari yang saling tersinkronisasi.

Biasanya, pertunjukan grup tari tunarungu ini digelar di desa Bengkala dan gedung-gedung universitas, capaian terbaik grup ini terjadi saat mereka beraksi di Bali Krishna, gedung pameran modern di Bali utara. Sandi, pemimpin grup tersebut, berharap mereka kelak akan menjelma menjadi "kelompok tari nomor satu di Indonesia.”

Sisi magis dari penampilan kelompok tari tunarungu asal Bengkala ini adalah sinkronisasi gerakan antar anggotanya di atas panggung. Hal yang sama mungkin bukan perkara besar bagi penari dengan pendengaran sempurna. Namun, tanpa kemampuan mendengarkan musik pengiring, penari akan kesusahan menjaga ritme tarian. Kendati demikian, para penari tunarungu dari Bengkala bisa bergerak secara sinkron dengan satu sama lainnya berkat isyarat visual yang mereka gunakan.

“Saya pernah melihat mereka manggung. Mereka menari dengan sangat antusias sampai-sampai saat ini ikut melatih gerakan mereka,” kata Putu Gedeasnawa, sukarelawan sekaligus seorang penyanyi dari Bali. “Kami sekarang terus melatih sinkronisasi gerakan. Kekuatan tarian terletak pada gerakan mata.

Semua keuntungan pertunjukan janger kolok di Bengkala masuk ke kantong para penarinya. Ini yang membuat Mardana berharap mereka bisa manggung dengan konsisten dan pada akhirnya menggenjot kedatangan wisatawan ke Bengkala. Penduduk desa Bengkala ingin meningkatkan pendapatan penduduk tunarungu. Di sisi lain, mereka juga ingin meningkatkan jumlah wisatawan yang datang ke Bengkala untuk memamerkan pada orang lain “kesetaraan” antara penyandang tunarungu dan penduduk normal di desa mereka.

bali-berkomunikasi-memakai-bahasa-isyarat">SUMBER: vice.com

TAG

BERITA TERKAIT