Senin, 21 Desember 2020 09:03

Vaksin Sinovac Tinggal Tunggu Izin Penggunaan Darurat BPOM

Nur Hidayat Said
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Ilustrasi.
Ilustrasi.

“Ini tentu tergantung keadaan yang kita sebut Emergency Use Authorization yang akan dikeluarkan oleh BPOM,” kata Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Covid-19 Unpad, Prof Kusnandi Rusmil.

RAKYATKU.COM - Vaksin yang dikembangkan oleh kerja sama Sinovac, Bio Farma, dan Universitas Padjajaran saat ini masih dalam tahap uji coba. Jika sesuai jadwal, laporan
akhir proses itu baru akan disampaikan pada Oktober 2021.

Namun, karena kondisi mendesak dan pemerintah telah memutuskan untuk menggunakan vaksin
pada Januari tahun depan, maka yang diperlukan saat ini adalah memperoleh izin
penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Covid-19 Unpad, Prof Kusnandi Rusmil, menjelaskan
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) nantinya akan menelaah EUA
tersebut.

Baca Juga : Kasus Covid-19 Indonesia Meningkat Lagi, Kini Total 6.080.451

“Ini tentu tergantung keadaan yang kita sebut Emergency Use Authorization yang akan
dikeluarkan oleh BPOM,” kata Kusnandi dikutip VOA Indonesia, Senin (21/12/2020).

Menurutnya, EUA tersebut diperlukan ketika uji klinis belum selesai. Kemudian BPOM akan
melihat segi keamanan penggunaannya.

"Kalau bisa, nanti Badan POM akan membuat surat UEA, dikirim suratnya ke WHO, yang
kemudian akan memberikan telaahnya,” lanjutnya.

Baca Juga : Gebyar Vaksin Covid-19, Pemkab Gowa Siapkan Doorprize Puluhan Sepeda Motor

Paparan Kusnandi itu disampaikan dalam diskusi akhir tahun Perhimpunan Alergi Imunologi
Indonesia (Peralmuni), Minggu (20/12). Diskusi ini secara khusus memotret persiapan
pelaksanaan vaksinasi dan penggunaan suplemen kesehatan bagi masyarakat.

Vaksin produksi Sinovac, kata Kusnandi, telah melewati fase uji 1 dan 2 di Wuhan,
Tiongkok. Sedangkan fase uji 3 dilaksanakan di Indonesia, untuk melihat keamanan dan
efikasi atau tingkat manfaat vaksin.

Fase 3 atau uji klinis ini dilakukan dengan melibatkan sukarelawan yang berusia antara
18-59 tahun. Bersama Bio Farma dan Unpad, Sinovac menyediakan tiga batch vaksin untuk
melihat konsistensinya.

Baca Juga : Aturan Mudik Lebaran: Wajib Pakai Masker Tiga Lapis, Dilarang Teleponan

Kusnandi menjelaskan, ada 1.620 sukarelawan yang terlibat dalam uji klinis tahap 3.
Gelombang pertama diikuti oleh 540 orang yang dilakukan sejak 11 Agustus untuk mengukur
imunogenitas, keamanan dan efikasi.

Sedangkan 1.080 sukarelawan terlibat dalam tahap selanjutnya, untuk melihat keamanan dan
juga efikasinya. Rekrutmen untuk total 1.620 sukarelawan itu dijadwalkan terus berlanjut
hingga Januari 2021.

Laporan imunogenisitas awal untuk 540 sukarelawan akan keluar pada Januari 2021.
Dilanjutkan dengan pemeriksaan serologi dan analisa data pada Agustus-September 2021,
dan laporan akhir penelitian akan tersedia pada Oktober 2021, kata Kusnandi. Selain di
Indonesia, uji klinis tahap 3 Sinovac juga dilakukan di Brazil, India, Bangladesh dan
Turki.

Baca Juga : Pria Ini Divaksinasi 90 Kali demi Jual Kartu Vaksin Palsu

Dia juga mengatakan, jenis yang diproduksi Sinovac adalah vaksin in-activated atau
menggunakan kuman yang dimatikan. Jenis ini lebih banyak digunakan di Indonesia
sebelumnya.

“Vaksin yang ada di Indonesia ini biasanya in-activated, jadi sudah biasa digunakan,
sudah terbiasa juga penyalurannya. Kelihatannya, kalau kita memakai vaksin yangin-
activated, kita enggak ada masalah,” tambahnya.

Vaksin Sesuai Dukungan Sarana

Baca Juga : Satgas COVID-19: Buka Puasa Bersama Boleh, tetapi Jangan Mengobrol

Pejabat Kementerian Kesehatan, dr Asik Surya, dalam diskusi ini juga membahas sejumlah
faktor terkait pemilihan vaksin bagi Indonesia. Secara umum, diharapkan dari sisi
keamanan vaksin memiliki efikasi hingga 70 persen dan minimal 50 persen. Lama
perlindungan vaksin diharapkan panjang, setidaknya satu tahun.

Menurutnya, faktor yang cukup penting bagi Indonesia adalah soal stabilitas penyimpanan,
terutama jika vaksin bisa disimpan dalam suhu 2-8 derajat celsius.

“Kulkas-kulkas kita, baik di Puskemas, di rumah sakit, di layanan klinik, yang ada
sekitar 2-8 derajat celsius. Ini menjadi hal yang sangat penting, untuk setidak-tidaknya
menyikapi agar vaksin yang ada harus mempertimbangkan kemampuan penyimpanan atau
logistik kita,” kata Asik.

Baca Juga : Satgas COVID-19: Buka Puasa Bersama Boleh, tetapi Jangan Mengobrol

Pertimbangan lain yang dipakai dalam pemilihan vaksin adalah soal kemasan, yang
sebaiknya multidose sehingga mempermudah penyimpanan. Sistem multidose ini mampu
mengoptimalkan alat pendingin vaksin yang dimiliki fasilitas kesehatan di Indonesia.

Menurut rencana, berdasar masukan yang ada, vaksinasi akan diberikan pertama kali kepada
garda terdepan penanganan Covid-19. Para ahli juga mengingatkan, belum ada data dukungan
keamanan vaksin ini untuk kelompok usia lanjut, mereka yang memiliki komorbid atau
penyakit penyerta, dan ibu hamil. Karena itulah, sejauh ini vaksinasi di Indonesia akan
menyasar pada kelompok usia produktif.

Kementerian Kesehatan mencatat, kesiapan rantai dingin (cold chain) di Indonesia untuk
keperluan vaksin sudah mencapai 97 persen. Sedangkan sumber daya dokter umum, dokter
spesialis, perawat dan bidan sebanyak 739.722 orang. Sementara total jumlah vaksinator
adalah 30.907, dengan rincian sebanyak 29.635 orang tersebar di Puskesmas dan rumah
sakit, dengan tambahan 1.271 dari TNI dan Polri.

Baca Juga : Satgas COVID-19: Buka Puasa Bersama Boleh, tetapi Jangan Mengobrol

Asik menambahkan, untuk keperluan jangka pendek ini, Indonesia menyandarkan pilihan pada
vaksin produksi Sinovac. Sedangkan untuk jangka menengah dan panjang, akan bertumpu pada
vaksin Merah Putih.

Progres Vaksin Merah Putih

Kepala Lembaga Biologi Molekular Eijkman Prof Amin Subandrio memastikan proses
pengembangan vaksin Merah Putih sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.

Baca Juga : Satgas COVID-19: Buka Puasa Bersama Boleh, tetapi Jangan Mengobrol

Dalam situasi normal, kata Amin, proses pembuatan vaksin akan membutuhkan waktu yang
lama, yaitu mencapai 15 tahun, meliputi riset awal hingga produksi. Proses tersebut
memakan waktu karena setiap tahap dilakukan secara serial, atau satu proses baru
dikerjakan setelah proses sebelumnya selesai dengan baik. Dalam situasi pandemi, WHO
memutuskan proses pembuatan vaksin dalam jangka waktu lebih pendek, karena tahapannya
dilakukan secara pararel.

“WHO memprediksikan, bahwa pengembangan vaksin Covid-19 ini membutuhkan waktu sekitar 18
bulan. Rata-rata semua vaksin yang diproduksi di manapun, betul-betul selesai
pertengahan tahun 2021. Vaksin Merah Putih akan selesai sekitar awal quarter pertama
2022, jadi tidak terlalu jauh jaraknya,” kata Amin.

Terkait pemberian vaksinasi kepada mereka yang berada dalam usia produkstif 18-59 tahun,
menurut Amin, hal itu dilakukan karena Indonesia ingin membangun herd immunity atau
kekebalan kelompok. Diharapkan, warga usia produktif yang telah menerima vaksin ini akan
kebal terhadap serangan virus,dan bisa melindungi kelompok rentan di tengah mereka.

Baca Juga : Satgas COVID-19: Buka Puasa Bersama Boleh, tetapi Jangan Mengobrol

Keputusan ini sempat dikritik sejumlah pihak, karena banyak negara justru mengawali
vaksin untuk mereka yang berada di kelompok rentan, seperti lanjut usia. Menurut Amin,
ada banyak faktor pembeda, sehingga keputusan yang diambil juga berbeda dengan
kebanyakan negara Eropa. Faktor pembeda tersebut salah satunya adalah jumlah vaksin yang
terbatas

Amin juga menjelaskan, selain pengembangan, Indonesia juga memiliki persoalan rumit
terkait distribusi.

“Proses ini juga tidak sederhana. Kita ingat, misalnya ada satu vaksin yang harus
disimpam di suhu minus 80 derajat celsius. Hampir tidak mungkin, membawa freezer minus
80 derajat celsius, ke daerah terpencil, yang harus dengan motor, perahu dan
sejenisnya,” kata Amin.

Baca Juga : Satgas COVID-19: Buka Puasa Bersama Boleh, tetapi Jangan Mengobrol

Sumber: VOA Indonesia

#Vaksin Covid-19 #Satgas Covid-19