RAKYATKU.COM,MAKASSAR – Tim Hukum Advokat Idamanta, pasangan calon (paslon) nomor urut 1, berencana akan melaporkan lima komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Makassar ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) di Jakarta.
Ini soal konsistensi Bawaslu Makassar dalam menjalankan aturan Pemilu di Kota Makassar. Juga terkait dengan profesionalitas komisioner Makassar menindaki laporan-laporan dugaan pelanggaran Pilkada.
Juru Bicara (Jubir) Idamanta atau kata lainnya Adama (akronim paslon Moh Ramdhan “Danny” Pomanto-Fatmawati Rusdi), Natsar Desi bilang, pihaknya melihat ada kecenderungan dari oknum di Bawaslu Makassar berpihak kepada paslon tertentu.
Baca Juga : Danny-Fatma Resmi Ditetapkan Sebagai Pemenang Pilkada Makassar
“Kami juga temukan adanya kecenderungan dari pihak penyelenggara (oknum) Bawaslu yang kami anggap telah kurang professional dan tidak netral. Kami melihat bahwa ada keberpihakan-keberpihakan pada paslon tertentu,” ungkapnya di hadapan media di Makassar, Senin (16/11/2020).
Terlepas dari itu, Aloq sapaan akrabnya juga bilang, pada perkembangan Pilkada saat ini, Tim Hukum Adama pun menemukan beberapa fakta lapangan. Itu terkait dengan keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dianggap tidak netral. Dalam hal ini, juga ikut berpolitik praktis.
Seperti kata politisi Partai Gerindra itu, beberapa camat dan lurah. Diduga telah melakukan mobilisasi kepada bawahannya untuk mendukung salah satu paslon.
Baca Juga : Hindari Kerumunan di Masa Pandemi, Danny Minta Tim dan Relawan Tak Usah ke Lokasi Penetapan
“Ini sudah beredar di media. Upaya sistematis, terencana dan massif dilakukan oleh oknum ASN yang ada di Makassar. Kami pun melihat juga ada upaya-upaya untuk mencoba melakukan black campaign terhadap paslon 1 (Danny-Fatma) dengan berupaya mengungkap sesuatu yang sesungguhnya tidak menjadi fakta,” paparnya.
Salah satu Tim Hukum Idamanta, Akhmad Rianto menyatakan, rencana pelaporan ke DKPP itu juga terkait dengan dugaan pelanggaran etika yang dilakukan ke lima komisioner Makassar.
“Mengenai indikasi pelanggaran etika yang dilakukan ini kami siapkan. Indikatornya, pertama adalah mengenai persoalan inkonsistensi terhadap penegakan aturan hukum, baik dari undang-undang pemilu, kemudian PKPU dan Perbawaslu. Yang menurut kami, ini tidak bisa dipahami secara parsial tapi diyakini sebagai hal yang utuh. Makanya dibutuhkan tindakan yang lebih konkrit. Makanya, ini kemudian diperjelas adanya inkonsistensi yang dilakukan Bawaslu. Yang ini kemudian bisa mencederai proses demokrasi,” pungkasnya.
Baca Juga : 23 Januari, KPU Makassar Agendakan Penetapan Danny-Fatma
Akhmad Rianto memberi contoh. Seperti kasus dugaan pelanggaran yang dilakukan Dirut PD Terminal Makassar Metro, Arsoni. Kasusnya dihentikan Bawaslu. Dengan alasan tidak memenuhi unsur formil.
Menurutnya, pada kasus ini ada keganjalan yang terjadi pada proses tindaklanjut yang dilakukan oleh Bawaslu Makassar. Yang kata Bawaslu, tidak ada unsur kampanye yang dilakukan oleh Dirut PD Terminal. Meski saat itu menggunakan fasilitas negara dalam menghadirkan Calon Wakil Wali Kota Makassar nomor urut 3, Fadli Ananda, bertemu langsung dengan beberapa karyawan PD Terminal.
“Bawaslu ini hanya melihat kepada hal yang sifatnya formil. Yang dianggap formil menurut kami itu adalah bahwa di dalam video atau pun gambar itu tidak ada unsur kampanye kata Bawaslu. Yang dimaksudkan kampanye itu penyampaian visi-misi. Tapi menurut kami, kampanye itu mengajak orang untuk memilih paslon dan kemudian membuat tanda yang seperti seolah-olah memberikan dukungan kepada paslon lain. Dan ini dilakukan oleh karyawan PD terminal itu jelas terlihat. Namun ini oleh Bawaslu tidak dikategorikan sebagai kampanye,” papar Akhmad Rianto.
Baca Juga : Ketimbang 2013 dan 2018, Persentase Partisipasi Pemilih pada Pilwali Makassar 2020 Lebih Baik
Pada kasus ini, lanjutnya, kehadiran Fadli Ananda di Terminal Regional Daya (TRD) saat itu, sudah merupakan bentuk kampanye. Meski tidak secara langsung menyampaikan visi-misinya. Apalagi, pada bukti rekaman video, pasangan calon Syamsu Rizal itu memberi janji kepada karyawan PD Terminal.
“Menurut kami, itu (Fadli) sudah lakukan kampanye. Karena secara rekaman suara itu di video, terlihat jelas sekali bagaimana Fadli menjanjikan sesuatu kepada karyawan PD Terminal. Memang itu tidak tersirat bahwa itu tidak masuk dalam visi-misinya. Yang ditafsirkan Bawaslu itukan kampanye itu penyampaian visi-misi. Tapi persoalan menjanjikan sesuatu, saya kira itu sudah kategori kampanye. Termasuk juga kepada gambar foto yang ada karyawan PD terminal, yang bahkan ada mengenakan pakaian dinas, itu mengacungkan simbol paslon nomor 3,” pungkasnya.
Sehingga menurut Akhmad Rianto, penghentian kasus dugaan pelanggaran ini akan menjadi preseden buruk bagi proses demokrasi. Mempunyai efek domino terhadap daerah lain yang juga menyelenggarakan Pilkada. Bahwa direksi perusahaan daerah atau BUMD bisa menghadirkan calon kepala daerah bersosialisasi menggunakan fasilitas negara.
Baca Juga : Resmi! Rekapitulasi KPU Pilkada Makassar, Danny-Fatma Unggul di 14 Kecamatan
Dalam laporannya, Arsoni dan Fadli Ananda selaku terlapor diduga melakukan kampanye dengan menggunakan fasilitas negara. Arsoni pun dianggap memfasilitasi tempat buat Fadli Ananda untuk berkampanye. Menghadirkan beberapa karyawan PD Terminal.
“Ini bisa menjadi hal yang kontraproduktif bagi proses demokrasi. Dan ini akan mendorong orang untuk melakukan tindakan hal yang sama. Dan ini bisa mencederai demokrasi. Bayangkan, inikan pelanggaran berat menurut kami. Nah kemudian ini dihentikan hanya kepada persoalan bahwa tidak ada isi materi kampanye yang dilakukan di situ. Ini jelas-jelas pidana. Ini menjadi gambaran oleh seluruh Bawaslu di kota mana pun yang akan melakukan pilkada nantinya, direksi bisa melakukan kampanye selama tidak menggunakan APK (alat peraga kampanye), inikan buruk,” tukas dia.
Tidak hanya itu dasar Tim Hukum Idamanta akan melaporkan Bawaslu ke DKKP. Ada beberapa kasus lainnya yang prosesnya juga dihentikan.
Seperti kata Fanny Anggraini, mengenai netralitas ASN pada kasus yang diduga melibatkan Sekretaris Kecamatan (Sekcam) Kecamatan Ujung Tanah. Dan soal penertiban APK, dianggap merugikan jagoannya, Danny-Fatma.
“Ada kurang lebih 7 laporan kami yang oleh Bawaslu dihentikan. Dengan alasan tidak memenuhi unsur. Pertama, saat pengambilan nomor urut paslon. Salah satu paslon kan sudah punya nomor. Itu ditegur langsung komisioner Bawaslu. Jadi kami hanya menindaklanjuti, tetapi laporan kami dianggap tidak terbukti. Kedua, pembagian sembako di Kokolojia, Kelurahan Kunjung Mae, Kecamatan Mariso. Ketiga, laporan soal blackcampaign yang dilakukan Ketua Tim Pemenangan Appi-Rahman, Erwin Aksa, yang viral di media. Itu dianggap tidak ada bukti. Keempat. Pembagian sarung dan sembako di Puri Mutiara, Jalan Monginsidi,” bebernya.
“Ke enam, ketika paslon (nomor urut 1) kampanye dialogis di Kecamatan Ujung Pandang dan Tallo. Belum selesai acara, sudah ada surat teguran oleh panwascam bahwa kita dianggap melanggar protokol kesehatan covid19. Padahal, pesertanya tidak melebihi 50 orang. Dilengkapi ID card. Ke tujuh kasus di Ujung Tanah. Jadi laporan ini, perkaranya terdaftar di Bawaslu,” lanjut Fanny yang juga salah satu Tim Hukum Idamanta.
Di lain sisi, Sekretaris Tim Hukum Advokat Idamanta, Benni Iskandar bilang, sudah dua kali melakukan konfirmasi ke Bawaslu Makassar terkait dengan perkembangan beberapa laporan. Bahkan dia bertemu langsung dengan Ketua Bawaslu Makassar, Nursari, beberapa waktu lalu.
“Dari semua pelaporan, jawabannya selalu tidak memenuhi syarat formil materil. Kita sudah dua kali melakukan konfirmasi ke Bawaslu. Pertama kali diterima ibu Sri. Konfirmasi kita saat itu terkait bagi-bagi beras di Kokolojia. Jawaban ibu Sri saat itu, sudah dijadikan temuan. Sehingga kita tidak melakukan pelaporan. Hal-hal lain yang kita pertanyakan ke ibu Sri, tentang netralitas ASN dan permasalahan Panwascam Ujung Pandang,” tambahnya.
“Kalau permasalahan di Hotel Harper (pengambilan nomor) itu, awalnya kita mendorong agar Bawaslu jadikan temuan. Tapi karena tidak ada tindaklanjutnya kita lakukan laporan. Jawaban ibu Sri saat itu, ketika hal itu ditemukan sudah dilakukan pembersihan, penggantian, dianggap selesai. Lalu kemudian, dipertanyakan apakah sudah dibersihkan semua, jawaban ibu Sri, iya semua. Tapi teman pertanyakan terkait baju yang dikenakan paslon nomor 2, itukan masih melekat. Kenapa itu tidak ditindaki? sementara baju itu dipakai terus sampai selesai acara. Materinya, ada aturan KPU dan Bawaslu bahwa tidak ada ornamen-ornamen simbol yang bisa masuk ke dalam ruangan,” ucap Benni Iskandar melanjutkan.
Soal laporan Panwascam Ujung Pandang, Benni Iskandar juga bilang tanpa ada tindakan pasti dari Bawaslu. Padahal, saat tim hukum melayangkan keberatan ke Bawaslu, oknum Panwascam itu akan ditindaki.
“Ada janji ketika itu, ketika kita ajukan keberatan. Maka panwascam akan ditindaki bawaslu, yang faktanya tidak ada tindakan. Kita juga menuntut agar surat teguran itu dicabut . Tapi nyatanya tidak. Perlu saya jelaskan, surat teguran oleh panwascam itu konsiderannya dengan aturan yang dipakai tidak sama. Itulah yang kami protes isi suratnya pertama. Kemudian tindakannya (panwascam),” tuturnya.
“Kemarin (belum lama ini), teman-teman kembali ke Bawaslu. Bertemu langsung dengan Ketua Bawaslu. Jawaban Nursari, apa pun sanggahan dari paslon 1 itu akan diproses. Dan teman-teman meminta tentang pelaporan-pelaporan itu agar jawaban tertulis itu diberikan kepada kita. Ketua (Nursari) mengatakan bahwa tidak tahu ada aturan penyampaian tertulis itu bisa disampaiakan atau tidak. Dia cuman berpatokan bahwa tentang pelaporan itu sudah diumumkan di papan bicara kantor Bawaslu. Tapi kita mendesak, selayaknya kita diberikan pemberitahuan tertulis,” kunci Benni Iskandar dengan nada berharap. (DePo2020)