RAKYATKU.COM - Seorang perempuan yang berhasil kabur dari Korea Utara membeberkan kisah hidupnya yang pilu saat menjadi warga negara pimpinan Kim Jong-un itu.
Yeonmi Park lahir 26 tahun lalu di Korea Utara. Jangan bayangkan masa kecil Yeonmi yang penuh ceria dan canda tawa.
Di sekolah, Yeonmi Park diajarkan untuk membenci negara-negara yang bertentangan dengan Korea Utara. Ia dan murid sekelasnya pun mendapat sesi khusus untuk saling mengkritik secara tidak sehat sehingga menimbulkan konflik dan perpecahan.
Baca Juga : Korea Utara Uji Drone Bawah Air Berkemampuan Nuklir Baru
"Kami tidak punya teman di Korea Utara, hanya kenalan biasa. Tidak ada konsep pertemanan," ungkap Yeonmi Park dalam sebuah wawancara dengan New York Post.
Suramnya masa kanak-kanak Yeonmi Park di Korea Utara tak hanya itu. Ia melihat secara langsung orang-orang di sekitarnya menderita karena kelaparan sampai mati.
"Sebuah hal biasa bagi kami untuk melihat mayat-mayat bergeletakan di pinggir jalan. Bukan hal yang aneh buatku," kata perempuan yang saat ini berdomisili di Chicago, Amerika Serikat.
Baca Juga : Korut Uji Coba Rudal Saat Kapal Induk AS Tiba untuk Latihan Militer di Korsel
Menurut Yeonmi Park, kesengsaraan yang terjadi di belahan dunia lain tak sebanding dengan di bekas negaranya.
"Saya sudah pernah ke daerah kumuh di Mumbai dan beberapa negara, tetapi di Korea Utara sangat parah karena kelaparan di sana sangat sistematis. Korea Utara sengaja membuat negaranya kelaparan," terang Yeonmi Park.
Demi bertahan hidup, Yeonmi Park dan keluarganya pernah mengonsumsi serangga karena tak ada makanan yang tersedia. Nenek dan pamannya meninggal karena malagizi.
Baca Juga : Korea Utara Tuduh AS Lakukan Terorisme Biologi
"Korea Utara menghabiskan miliaran dolar untuk membuat senjata nuklir. Jika mereka mau menyisihkan 20 persennya saja, orang-orang tidak akan mati karena perut kosong, tetapi rezim membuat kami kelaparan," katanya lagi.
Tak kuat menghadapi kesengsaraan, keluarga Yeonmi Park memutuskan keluar dari Korea Utara. Saat kabur bersama ibunya, ia baru berusia 13 tahun.
Mereka berusaha melarikan diri melalui Tiongkok di tengah musim dingin. Akan tetapi, di tengah perjalanan, mereka diadang kelompok penyelundup manusia. Mereka lalu memerkosa ibunya.
Baca Juga : Korsel-AS Tembakan 8 Rudal sebagai Tanggapan Uji Coba Rudal Korut
Menjadi korban perdagangan manusia, ia dijual kepada seseorang dengan bayaran tak lebih dari USD300 atau sekitar Rp4,5 juta.
Singkat cerita mereka berhasil keluar dari perbatasan dan bertemu dengan ayahnya yang sudah kabur terlebih dahulu. Tak lama kemudian, ayah Park meninggal karena kanker usus.
Dengan bantuan misionaris Kristen, Park dan ibunya masuk ke Mongolia dengan aman. Mereka lalu dipindahkan ke sebuah penampungan di Korea Selatan.
Baca Juga : Korut Tembakkan 8 Rudal Usai Korsel dan AS Latihan Bersama di Laut Filipina
Kehidupan Yeonmi Park berangsur membaik. Di Seoul, ia melanjutkan studinya sebelum akhirnya bertolak ke New York City pada 2014.
Berangkat dari pengalaman kelam tersebut, Yeonmi Park terinspirasi untuk menjadi seorang pejuang hak asasi manusia.
Ia vokal terhadap isu hak-hak warga Korea Utara yang tertindas karena pemerintahnya yang otoriter.
Terlepas dari kisah hidupnya yang pilu, Yeonmi Park tetap bersyukur lahir di Korea Utara. "Jika saya tidak lahir di bawah tekanan dan kemelut tersebut, saya mungkin tidak akan pernah melihat terang. Mungkin orang-orang di sini, mereka tidak melihat terang dan hanya bisa merasakan gelap. Saya bisa melihatnya dengan terang," katanya.