RAKYATKU.COM - Isu konspirasi dan komersialisasi Covid-19 masih jadi topik perbincangan hangat belakangan ini di media sosial. Rumah sakit dituding mencari keutungan dari Covid-19.
Sehingga timbul gejolak masyarakat seperti pengambilan paksa jenazah pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal di rumah sakit. Setidaknya kasus ini yang terjadi di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, belakangan ini.
Pengamat kesehatan, dr Syamsu Alam Aliyah, MPH mengatakan, isu dan kondisi yang terjadi seperti saat ini adalah sebuah mispersepsi yang cukup prinsipil antara sosialisasi yang beredar di tengah masyarakat dengan layanan penderita Covid-19, terutama pada pasien yang meninggal di rumah sakit, kemudian dimakamkan dengan protokol Covid-19.
Sejauh ini, kata dia, pemahaman masyarakat yang diterima dari sosialisasi pihak medis bahwa seseorang dinyatakan menderita Covid-19 apabila sudah terkonfirmasi dengan swab test PCR) positif.
Faktanya, pasien yang dirawat dengan protokol Covid 19, pada tahap PDP yang dibuktikan hanya berupa rapid test yang reaktif. Bila meninggal, dinyatakan pasien meninggal karena Covid-19 dan dimakamkan dengan protokol Covid-19. Sekalipun swab test belum keluar hasilnya.
"Di sinilah letak penolakan keluarga, bahkan ada yang mencoba membawa permasalahan ini ke ranah hukum. Bahkan makin memuncak perlawanannya bila kemudian hari ternyata hasil lab PCR-nya negatif, yang keluar beberapa hari kemudian setelah pemakaman," kata dokter yang aktif memberi pencerahan-pencerahan di grup-grup media sosial ini dalam wawancara via telepon, Rabu (10/6/2020).
Komplain keluarga pasien dan masyarakat masih cukup rasional. Artinya hanya terletak pada adanya informasi terputus yang menyatakan bahwa untuk semua pasien yg dirawat dengan protokol Covid-19, apapun statusnya bila kemudian ternyata meninggal dalam perawatan maka pemakamannya dilakukan menggunakan protokol Covid-19.
Dokter lulusan FK Unhas ini memastikan bahwa informasi inilah yg belum terkomunikaan dengan baik. Dan menilai komplain sebatas ini sekalipun sudah cukup meresahkan namun masih bisa diterima dengan wajar. Kita harus menempatkan diri kita bila kita menjadi mereka. Kematian dan segala prosesinya adalah sebuah peristiwa sakral dri sisi sosial budaya dan agama bahkan sangat menentukan perjalanan uhrawi sang almarhum(ah).
Menjadi masalah kemudian menurutnya, adalah pada saat disusupi oleh sebuah kecurigaan akan adanya pemaksaan diagnosis oleh pihak RS agar pasien yang meninggal dinyatakan dengan diagnosis Covid-19 karena RS menerima sejumlah keuntungan dari pemerintah dengan bayaran yg cukup fantastis ratusan juta rupiah. Dikesankan bahwa Covid-19 adalah sebuah proyek rekayasa bisnis untuk kepentingan segelintir elite.
Entah dari mana informasi ini. Ada yang mengaitkan dengan informasi yang viral di media sosial, mengklaim bahwa biaya perawatan hingga pemakaman dengan protokol Covid-19 di Indonesia termahal di dunia. Hal ini telah menjadi kayu api yang siap membakar amarah masyarakat terhadap rumah sakit.
Untuk meminimalkan masalah ini, dokter dan pihak rumah sakit harus melakukan langkah-langkah proaktif, membentengi diri dengan melakukan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) yang optimal pada saat pasien akan dirawat atau pada saat keluarga mendaftarkan anggota keluarganya yang sakit. Tidak cukup hanya dengan adanya surat persetujuan tindakan dan perawatan. Namun, harus disertakan surat persetujuan pemakaman protokol Covid-19 bila ternyata pasien tersebut meninggal.
"Semua ini harus dijelaskan dengan sebaik-baiknya kepada keluarga pasien dan pengantarnya. Bila perlu khusus pada keadaan pandemi seperti ini. Di rumah sakit juga wajib menyediakan jadwal setiap hari untuk melakukan KIE pada keluarga pasien di satu ruangan. Bisa disebut "Covid-19 Time"," tutur mantan fungsional medis dan pejabat struktural di beberapa rumah sakit Pertamina tersebut.
Pada pertemuan itulah bisa dibicarakan semua hal yang berkaitan dengan pasien sampai pada sikap dan kebijakan pemerintah serta undang-undang KLB yang berlaku. Dengan cara seperti ini diharapkan mampu menghalau dan meredam penolakan masyarakat dan keluarga. Mematikan kompor-kompor dari pihak-pihak yang ingin memperkeruh suasana. Memengaruhi opini masyarakat sehingga rejected terhadap semua tahapan-tahapan epidemiologis yang sudah dicanangkan oleh pemerintah.
Di akhir wawancara, dokter Syamsu berpesan bahwa kebijakan pemerintah memberlakukan relaksasi terhadap PSBB yang dikenal dengan new normal jangan diartikan kita sudah bebas dari bencana pandemi Covid-19.
Dia mengabarkan di saat wawancara yang dilakukan, ada tiga orang sejawat dokternya yang menemui ajalnya lagi karena Covid-19.
Covid-19 tetap mengancam, bahkan ditenggarai bisa lebih berbahaya bila salah dalam menyikapi masa tanggap bencana ini dari PSBB ke new normal.
"Oleh karena tidak lagi di-support dengan PSBB oleh pemerintah, sehingga menuntut kesadaran perorangan dan kesadaran kolektif semua pihak. Sambil berharap sangat untuk tetap stay di rumah, bila terpaksa keluar gunakan masker, sering-sering cuci tangan dengan sabun, tetap jaga jarak dengan siapa pun kecuali dengan keluarga inti di rumah," ujarnya.
"Dengan cara ini diharapkan new normal benar-benar akan menjadi kehidupan normal tanpa harus menelan korban yang banyak. Jangan lagi ada kata-kata fitnah di tengah wabah yang sedang mengancam kita semuanya. Kita saling menguatkan, kita saling mendoakan agar kita terselamatkan dari bencana ini," pesannya.