Kamis, 19 Maret 2020 07:00

Pembunuh 19 Penyandang Cacat yang Dihukum Gantung: Tidak Ada Gunanya Mereka Hidup

Nur Hidayat Said
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Satoshi Uematsu saat ditangkap pada 2016 lalu. (Foto: AFP)
Satoshi Uematsu saat ditangkap pada 2016 lalu. (Foto: AFP)

Satoshi Uematsu mengatakan orang-orang yang tidak dapat berkomunikasi dengan baik tidak memiliki hak, demikian dilaporkan media Kyodo.

RAKYATKU.COM - Pria Jepang dihukum mati karena melakukan penikaman massal pada 2016. 19 penyandang cacat terbunuh di sebuah panti perawatan.

Satoshi Uematsu mengatakan orang-orang yang tidak dapat berkomunikasi dengan baik tidak memiliki hak, demikian dilaporkan media Kyodo.

Pria berumur 30 tahun ini sebelumnya bekerja di sebuah panti perawatan di dekat Tokyo.

Kasus ini adalah salah satu pembunuhan massal terburuk Jepang dan mengejutkan penduduk negara yang jarang mengalami kejahatan dengan kekerasan.

Dalam sebuah wawancara dengan koran Jepang, Mainichi Shimbun, Uematsu mengatakan "tidak ada gunanya (bagi orang-orang cacat mental) untuk tetap hidup dan dirinya "harus melakukannya demi masyarakat".

Pengadilan Yokohama pada hari Senin (16/3/2020) memutuskan hukuman mati dengan cara digantung.

Sebelumnya Uematsu telah mengatakan dirinya tidak berencana untuk mengajukan banding atas bentuk hukuman apapun.

'Pengguna ganja'
Pada pengadilan permulaan tahun ini, bekas pegawai panti perawatan Sagamihara itu tidak menyangkal dirinya telah menikam para korbannya.

Namun, tim pembela menyatakan kliennya tidak bersalah, dengan menggunakan alasan keadaan kejiwaannya. Mereka mengatakan Uematsu dalam keadaan terbius narkoba saat itu.

"Dia pengguna ganja dan penderita sakit jiwa," kata pengacaranya.

"Dia dalam keadaan di mana dirinya tidak mampu bertanggung jawab."

Sisa-sisa ganja ditemukan di darahnya saat penikaman.

Para jaksa menegaskan Uematsu mampu secara kejiwaan dan serangan tersebut "tidak berperikemanusiaan" sehingga "tidak ada alasan untuk memberikan keringanan".

Nasib penyandang cacat
Serangan ini juga mencuatkan masalah perlakuan yang diterima para penyandang cacat di Jepang.

Jati diri sebagian besar korban meninggal tidak diungkapkan keluarga mereka, diduga karena mereka tidak ingin diketahui memiliki anggota keluarga yang cacat.

Meskipun demikian, sebelum sidang dimulai, ibu anak perempuan berumur 19 tahun yang meninggal karena serangan tersebut mengungkapkan nama kecilnya adalah Miho.

"Bahkan hukuman yang paling ekstrem adalah terlalu ringan untuk Anda," kata ibu itu seperti dilaporkan media pemerintah NHK. "Saya tidak akan pernah memaafkan Anda."

"Kembalikan anak perempuan tersayang saya...Anda masih hidup. Ini tidak adil.

Ini suatu kesalahan. Saya menuntut Anda dihukum mati," tambahnya.

Seperti apa serangannya?
Pada 26 Juli 2016, Uematsu mengemudikan kendaraanya ke panti perawatan Tsukui Yamayuri-en di luar kota Tokyo. Dia membawa sejumlah pisau.

Uematsu memasuki gedung dengan memecahkan kaca jendela dan menyerang penghuni yang sedang tidur, satu persatu di kamar mereka, demikian jaksa menjelaskan.

Korbannya berumur 19 sampai 70 tahun, lapor kantor berita Jepang Kyodo. Dua puluh lima orang lainnya terluka, 20 di antaranya luka parah.

Tidak lama kemudian, Uematsu menyerahkan diri di kantor polisi.

Panti yang luas tersebut dihuni 150 orang saat serangan dilakukan, kata pejabat setempat. Sembilan staf sedang bertugas saat itu.

Kemudian diketahui bahwa sembilan bulan sebelum serangan, Uematsu pernah mengirim surat ke parleman Jepang. Dia mengatakan dirinya akan membunuh 470 penyandang cacat jika diberikan izin.

"Saya ingin Jepang menjadi sebuah negara di mana penyandang cacat dapat dieutanasia," katanya.

Dia kemudian dimasukkan ke rumah sakit tetapi dikeluarkan setelah dua minggu.

Sejak ditangkap, Uematsu tidak pernah memperlihatkan penyesalan.

Sumber: BBC Indonesia