Minggu, 16 Februari 2020 22:58

Kini Pengusaha Sukses di Swiss, Siapa Sangka Dulunya Tukang Becak yang Cuma Lulus SD

Fathul Khair Akmal
Konten Redaksi Rakyatku.Com
sumber foto: boombastis.com
sumber foto: boombastis.com

Seorang pria bernama Pono Geneng, dulunya hanya seorang tukang becak di Yogyakarta. Pria lulusan SD ini, berhasil menjadi pengusaha kaya raya.

RAKYATKU.COM - Seorang pria bernama Pono Geneng, dulunya hanya seorang tukang becak di Yogyakarta. Pria lulusan SD ini, berhasil menjadi pengusaha kaya raya.

Tak hanya itu, Pono merupakan seorang pengusaha di Fribourg, Swiss, yang fasih berbahasa asing seperti Inggris British dan Inggris Amerika, Italia, Jerman, dan Perancis. 

Jauh dari kehidupannya dahulu sebagai tukang becak, kisah pria yang bersekolah di SD Kepuh Yogyakarta ini sangat berliku dan penuh petuah yang inspiratif.

Sebelum dikenal sukses sebagai pengusaha, pria bernama asli Pujiono ini merupakan seorang tukang becak yang biasa membawa sayuran dari sebuah tempat yang bernama Geneng di Prawirotaman, Yogyakarta sekitar tahun 1992. 

Karena sering berada di sana, nama Geneng pun tersemat pada dirinya. Jadilah Pono Geneng pembawa sayur dengan becak miliknya.

Meski hanya menjadi seorang tukang becak, toh Pono memiliki prinsip hidup langka yang tak banyak dimiliki orang lain di negeri sebesar Indonesia ini, yakni kejujuran. 

Bahkan dengan hal itu pula, siapa sangka jika nasib Pono berubah 180 derajat. Peristiwa itu berawal saat dirinya menemukan sebuah tas berisi uang dollar pada tahun 1992 di sekitar Prawirotaman, Yogyakarta.

Uang dollar yang berada di dalam tersebut bernilai sebesar Rp42 miliar. Pada tahun 1992, jumlah demikian sangatlah besar. Tentu hal ini bakal menjadi godaan bagi siapa saja yang memilikinya. Termasuk Pono yang pada saat itu menemukan tas tersebut.

Meski merasa mendapatkan rezeki nomplok, ia tak lantas merasa gelap mata.
Tak lama, Pono pun membawa pulang tas tersebut dan ditunjukkan pada sang ibu, dikutip dari boombastis.com.

“Temuan uang tersebut saya ceritakan ke ibu, saya bilang kita bisa beli rumah, mobil dan lain-lain. Ini uang banyak sekali, mobil Carry yang bagus waktu itu harganya Rp 14 juta,” kata Pono Geneng saat bertutur di kediamannya, di Fribourg, Swiss.

Karena disebutkan bisa digunakan untuk membeli mobil, sang ibu menasehatinya jika terjadi apa-apa (kecelakaan) dengan mobil tersebut, malah jadi masalah yang menakutkan keluarganya. 

“Kalau nanti nyetir terus terjadi sesuatu malah bablas (Kecelakaan-red), piye (bagaimana) malah medeni (mengerikan),”ujar Giyem sang ibu.

Akhirnya, Pono pun mengembalikan uang tersebut ke pemiliknya – yang ternyata berasal Swiss bernama Charli Morandi dan sang istri yang menginap di hotel Garuda, setelah mencari dan bertanya ke sana kemari. 

Usai mengembalikan uang, Pono tak mendapatkan ‘hadiah’ apa pun sebagai balas jasa atas kejujurannya tersebut.

Yang ada, malah becaknya yang hilang karena tak digembok saat diparkir di areal hotel. Ibarat pepatah, “sudah jatuh tertimpa tangga”, Pono menerima nasibnya kala itu dengan besar hati. 

“Ya sudah mau apalagi, pulang jalan kaki. Semua saya ceritakan ke orang tua, ya bagaimana lagi,” kata Pono Geneng yang dikutip dari News.koranbernas.id (08/02/2020).

Namun tak lama kemudian, pasangan suami istri itu kembali menemui Pono lewat alamat KTP yang difotonya saat ia mengembalikan uang tersebut. Keduanya langsung menuju Yogyakarta usai bepergian dari Bali. 

Oleh mereka, sosok Pono dinilai spesial karena kejujurannya yang luar biasa tersebut. Pada tahun 1992 pula, tukang becak jujur itu akhirnya diajak ke Swiss sebagai ungkapan rasa terima kasih mereka.

Selama berada di Swiss, Pono diajari cara bercocok tanam karena Charli Morandi dan istrinya ternyata seorang petani. Tiga tahun berlalu dihabiskan oleh Pono dengan bertani. Ia pun sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh pasangan suami istri asal Swiss tersebut. 

Sayang, kehangatan tersebut tak lama terjalin lantaran orang tua angkatnya itu meninggal dunia karena penyakit gula.

Sebelum meninggal dunia, Charli Morandi dan sang istri mewasiatkan agar seluruh harta dan kekayaanya diwariskan pada Pono. Di ujung kehidupannya itu, pasangan suami istri itu masih mengingat akan kejujuran Pono di masa lalu. 

Sebuah sikap yang berhasil meluluhkan hati mereka. Akhirnya setelah enam bulan kedua orang tuanya wafat, seluruh harta kekayaan yang ditinggalkan menjadi milik Pono.

Menjalani kehidupan di Swiss, Pono menjalani usaha sebagai distributor kopi untuk cafe-cafe yang berada di sana. Bahkan saat pulang ke Yogyakarta, ia tak lupa dengan rekan-rekannya sesama tukang becak dan kerap ikut ‘narik’ bersama mereka. Pono pun dianggap sebagai sosok yang menginisiasi Persatuan Perkumpulan Pengemudi Becak Prawirotaman (P2BP) di Yogyakarta.