Jumat, 25 Oktober 2019 09:40

Kendala Sepak Bola Putri Indonesia: "Orang Tua Takut Anak Tidak Cantik Lagi"

Nur Hidayat Said
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Tim Persija Jakarta Putri. (Foto: ABC Indonesia)
Tim Persija Jakarta Putri. (Foto: ABC Indonesia)

Indonesia telah memiliki tim nasional sepak bola putri sejak era 70-an, namun cabang olahraga ini belum menarik perhatian publik luas.

RAKYATKU.COM - Indonesia telah memiliki tim nasional sepak bola putri sejak era 70-an, namun cabang olahraga ini belum menarik perhatian publik luas.

Kini setelah lebih dari empat dekade, sepak bola putri kembali mendapat panggung dan mulai dilirik publik dengan digelarnya Liga 1 Putri, turnamen sepak bola wanita antarklub unggulan di Indonesia.

Liga I Putri resmi digelar sejak 6 Oktober 2019 lalu dan dijadwalkan berakhir pada Desember 2019. Saat ini turnamen telah memasuki seri ke-2.

Sebanyak 10 klub ikut ambil bagian dalam kompetisi sepak bola wanita tertinggi dan pertama di Indonesia antarklub unggulan di Indonesia.

Kesebelasan Persija Putri dan Galanita Persipura Tolikara memimpin klasemen sementara di masing-masing grup A dan B.

Penyelenggaraan Liga 1 Putri ini disambut antusias oleh ofisial sepak bola nasional dan daerah.

Event tahunan ini diyakini akan mampu mendongkrak pamor sepak bola wanita di Indonesia sekaligus memasyarakatkan cabang olahraga ini di akar rumput.

"Ini awal yang bagus walau kemasannya masih amatir. Event ini panggung bagi pembinaan yang kita lakukan, kalau hanya dibina terus dan anak-anak gak manggung jadi gak ada puncaknya," kata Anto Sudaryanto, manajer tim Persija Putri, ditemui di Lapangan Persija Academy Pulo Mas Jakarta, pekan lalu.

Diakui Anto, selama ini pembinaan sepak bola putri memang tidak terlalu dilirik. Tidak banyak klub yang memiliki tim sepak bola putri.

Berbeda dengan sepak bola putra di mana ada banyak klub sepak bola mulai dari jenjang anak-anak hingga dewasa.

"Di Jakarta saja, dari 21 klub sepak bola yang jadi anggota asosiasi sepak bola di Jakarta, yang punya klub sepak bola wanita itu tidak lebih dari 3 klub," kata Anto.

"Di Liga 1 Putri ini saja, dari 18 klub professional yang ikut baru 10 saja. Tapi ini langkah yang bagus." tambah Anto.

Minimnya pembinaan membuat sumber daya pemain sepak bola wanita masih sangat terbatas.

Tim kesebelasan Persija Putri ini saja baru terbentuk akhir tahun lalu melalui mekanisme perekrutan terbuka.

"Persija melakukan talent scouting dengan cara open rekrutmen Desember lalu untuk membentuk tim ini yang juga dipersiapkan untuk PON 2020 di Papua."

"Kami berhasil menjaring 140 orang, dari sekolah-sekolah atau klub namun masalahnya mereka semua berlatar belakang futsal bukan sepak bola dan akhirnya berhasil mendapatkan 22 atlet sepak bola putri," katanya.

Anto menambahkan tim Persija Putri kini diawaki oleh pemain dengan rentang usia 15 tahun sampai 33 tahun, di mana mayoritas masih berusia remaja.

Menurutnya masih ada sederat tantangan lain yang dihadapi setelah tim sukses terbentuk.

"Sepak bola wanita ini unik, peran orang tua masih amat besar dalam hal mengizinkan atau tidak putrinya berlatih."

"Kita tahu sepak bola identik dengan olahraga luar ruangan yang keras, belum lagi risiko cedera."

"Banyak orang tua yang khawatir penampilan anaknya berubah, kulitnya nanti jadi hitamlah karena panas-panasan atau nanti penampulannya berubah jadi seperti laki-laki dan tidak cantik lagi."

"Waktu mereka latihan aja, ada sebagian yang masih ditunggui orang tuanya. Pemandangan seperti ini jarang sekali dilihat pada pemain sepak bola putra."

"Apalagi jika harus bertanding ke luar kota, orang tua masih ada yang tidak mengizinkan anak perempuannya pergi sendirian."

Patahkan citra olahraga laki-laki

Kendala budaya dan bias gender bagi atlet sepak bola putri ini diakui Carla Bio Pattinasarany, 18 tahun, pemain penyerang Persija Putri ini mengaku sempat tidak direstui orang tuanya untuk terjun ke dunia sepak bola putri.

"Aku dulu juga gak boleh main bola sama mama, jadi aku terpaksa bohong kalau main bola, aku bilangnya belajar kelompok di rumah teman," tutur cucu legenda sepak bola nasional Ronny Pattinasarany.

Berkaca pada pengalamannya, kini pemain Jakarta kelahiran 9 Agustus 2002 ini aktif menjadi pembicara ke sekolah-sekolah untuk mempromosikan sepak bola putri.

"Aku ingin membangun sepak bola cewek biar orang gak ngomong sepak bola cuma buat cowok, tapi cewek juga bisa jadi pemain sepak bola professional," katanya.

"Waktu aku ke sekolah-sekolah banyak yang bilang, 'Mereka gak tau kalau sepak bola wanita bisa professional'."

Carla sendiri melihat ada banyak perkembangan pesat di dunia sepak bola wanita di tanah air sejak beberapa tahun belakangan.

Ia mengaku sekarang klub sepak bola perempuan mulai bertumbuh dan kesempatan bermain juga semakin banyak.

Namun ia memberi catatan tentang masih kuatnya praktek seksisme terhadap pemain sepak bola wanita dimana skill dan kepiawaian mereka di lapangan belum sepenuhnya dihargai.

"Kalau kami tampil banyak yang menyoroti penampilan fisik kami, banyak juga yang bilang Persija Putri pemainnya cantik-cantik semua."

"Memang benar, tapi kami gak cuma punya tampang, tapi kami juga punya skill dan prestasi dan itu kami tunjukan kemarin dengan kami juara klasemen di Grup A," katanya.

Sulit cari sponsorship

Apa yang diungkapkan ofisial dan pemain Persija Putri itu diakui ketua Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia, Papat Yunisal sebagai gambaran umum dunia sepak bola wanita di Indonesia.

Pemain sepak bola wanita Indonesia legendaris asal Bandung, Jawa Barat ini mengatakan budaya masih menghambat perempuan menekuni sepak bola.

"Bahkan ada salah satu provinsi yang tim sepak bola wanitanya sudah juara di daerahnya dan mau mewakili kejuaraan di tingkat nasional saja itu tidak bisa berangkat karena ada hal-hal yang membuat sulit."

"Misal ada larangan haram perempuan pergi dengan yang bukan muhrimnya, tidak boleh main bola, mainan laki-lakilah, jadi secara budaya juga belum mendukung."

"Belum lagi isu klasik di sepak bola wanita itu sendiri sudah minim jumlah pemain, sekalipun ada kita tidak bisa lama membina mereka karena mereka nanti menikah atau melanjutkan kuliah, dan waktu bermain mereka juga terbatas karena nanti mereka melahirkan," kata Papat.

Papat Yunisal menambahkan sejumlah kendala teknis juga membuat olahraga sepak bola wanita semakin sulit berkembang.

"Sekarang lapangan sepak bola juga udah makin sulit, jangankan untuk yang mau belajar untuk tim nasional saja kadang sulit mencari lapangan yang betul-betul maksimal dan terjangkau harganya. Jadi kadang personelnya udah kumpul, tapi gak ada lapangannya." ungkapnya.

Oleh karena itu untuk mendobrak itu semua, PSSI sejak lama merancang liga 1 putri.

Ia meyakini event ini akan membawa perubahan signifikan pada perkembangan sepak bola wanita di Indonesia.

Meski diakui Papat Yunisal penyelenggaraan kejuaraan ini juga tidak mudah.

"Sebetulnya ini sudah tiga tahun lalu kita rencanakan, tapi sulit yang karena banyak hal antara lain walau klub mendukung tapi tidak semua punya klub sepak bola putri.

"Makanya mereka harus mencari dan merekrut dan mengontrak pemain dari manapun untuk bisa bermain diklubnya."

"Belum lagi soal sponsor, kalau liga 1 putra banyak sponsornya karena eventnya sudah jelas jadi nilai jualnya juga jelas."

"Kalau sepak bola putri karena baru pertama, para sponsor masih mempertanyakan kompensasi yang mereka dapatkan sedangkan penonton saja belum terlalu banyak seperti putra."

Namun, melihat tingginya animo warga menyaksikan laga di seri pertama, ia optimistis Liga 1 Putri akan terus bergulir dan dinantikan layaknya Liga 1 Putra.

Sumber: ABC Indonesia