Senin, 21 Oktober 2019 17:18

Tayang 7 November, Ini yang Membuat Film "Ati Raja" Menarik Ditonton

Mays
Konten Redaksi Rakyatku.Com
Kunjungan kru Ati Raja ke kantor Rakyatku.com, Jl Pelita 2 Makassar.
Kunjungan kru Ati Raja ke kantor Rakyatku.com, Jl Pelita 2 Makassar.

Di tengah tercabik-cabiknya bangsa ini oleh intoleransi, perbedaan suku, ras, dan agama, membuat kehadiran film "Ati Raja" sebagai momentum yang tepat.

RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Di tengah tercabik-cabiknya bangsa ini oleh intoleransi, perbedaan suku, ras, dan agama, membuat kehadiran film "Ati Raja" sebagai momentum yang tepat.

Film yang disutradarai oleh Syaifuddin Bahrum ini, sarat akan pesan-pesan pembauran, menceritakan tentang kisah cinta seorang pemusik asal etnis Tionghoa bernama Ho Eng Djie, yang banyak menciptakan lagu-lagu berbahasa Makassar. 

Pada 7 November 2019 mendatang, Ati Raja akan mulai tayang serentak di seluruh bioskop di Indonesia. 

Senin, 21 Oktober 2019, para kru dan pemain berkunjung ke Rakyatku.com. Hadir Arwan Tjahjadi (Executive Producer), Syahriar Tato (aktor senior),  Fajar Baharuddin atau Bojan (pemeran Ho Eng Djie), Chesya Tjoputra (pemeran Yan Tju), Wandi Dg Kulle, Anna Asriani Muchlis, Hj Saenab Hasmar, Hadi dan Syarif Tiivong.

Film ini menceritakan kisah percintaan Ho Eng Djie yang rumit, penuh dengan kebesaran dan kesabaran dalam menjalani tantangan kehidupan.

Bojang memerankan Ho Eng Djie dalam film Ati Raja.

Bojang yang memerankan Ho Eng Djie mengatakan, film ini menjadi menarik di tengah keegoan suku agama dan ras, Ati Raja hadir untuk mengingatkan, semua orang harus memiliki kebesaran jiwa untuk menyikapi perbedaan itu sendiri.

"Maka saya perwakilan dari generasi milenial hari ini, mengajak seluruh kaum milenial dan orang tua, untuk menghidupkan pluralisme. Bahwa di Indonesia ini ada banyak etnis dan agama, yang dipersatukan oleh Bhineka Tunggal Ika," ujar Bojang.

Hal senada diungkap oleh Chesya Tjoputra, pemeran Yan Tju dalam film tersebut.

Chesya Tjoputra  memerankan Yan Tju dalam film Ati Raja.

"Di film ini menceritakan jaman dulu. Saya termasuk anak milenial. Di film ini saya belajar bagaimana kehidupan tahun 40-an. Saya mengajak anak milenial untuk menonton film ini, karena di dalam film ini sarat dengan pendidikan, budaya, agama, semua menyatu dalam film ini," ujar Chesya.

Menurutnya, anak milenial bisa flash back kembali.

Bojang menceritakan, Ho Eng Djie dan teman-temannya dulu, ketika ngumpul dan minum ballo, ada karya yang bisa dihasilkan berupa lagu. "Kalau sekarang, anak-anak muda ngumpul minum ballo, paling yang timbul kericuhan," ujar Bojang.

Di dalam film ini, setting lokasi juga menjadi jualan. Itu diungkap Wandi Dg Kulle. Menurutnya, ketika melihat film ini, maka akan betul-betul menggambarkan suasana Makassar pada tahun 1940-an.

"Jadi itu nilai jualnya. Kalau mau lihat Makassar jaman dulu, tonton film ini," ujar Wandi.

Saking ngototnya kru mencari lokasi yang betul-betul menggambarkan suasana Makassar jaman dulu, mereka mencari lokasi hingga ke Parepare.

"Untuk penjara kita tunjukkan lokasi penjara di Fort Rotterdam, tapi kru yang dari Jakarta lihat ini sudah modern. Maka kita cari di Parepare, akhirnya dapat di belakang rujab Wawali, ada penjara lama yang sudah tidak terpakai," ujar Bojang.

Ada juga pasar di Gowa yang sudah mau dibongkar untuk renovasi. Namun kru kemudian meminta tolong agar jangan dibongkar dulu. "Jadi setelah syuting, langsung dibongkar," ujar Saenab Hasmar.

Aktor senior, Syahriar Tato mengungkapkan, dari sekian film yang dia bintangi, Ati Raja ini memiliki pembeda. Menurutnya, film ini menginformasikan bahwa pembauran etnis sudah ada sejak 1940-an. 

"Di Makassar ini, jaman itu sudah ada etnis Portugis, Belanda, Tionghoa. Di jaman Ati Raja, sudah ada pembauran.  Saya dengan Pak Arwan pernah ke Melaka untuk melihat kehidupan pembauran di sana. Saya seminggu di sana survei. Di sana terkenal dengan Baba Wi yang asli," pungkas Syahriar.