RAKYATKU.COM - Tema Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kontestasi pilpres 2019 ini sejatinya sudah usang, namun tetap menarik.
Usang dikarenakan sejak rontoknya rezim otoriter fasis Soeharto ditangan mahasiswa pada 21 Mei 1998, sudah menjadi pokok bahasan penting dan menjadi bagian dari tuntutan amanat reformasi total.
Selama 20 tahun perjalanan reformasi soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sejak era Gusdur, Megawati, SBY hingga Jokowi selalu diabaikan dan digadaikan.
Abai berarti tidak memedulikan untuk diselesaikan. Digadaikan karena sekadar menjadi jualan (jaminan) ke rakyat, agar dipilih dalam pilpres dan setelahnya tanpa niat untuk menunaikannya, tapi menjadi jaminan atau janji abadi setiap pemerintahan.
Di titik inilah, daya tarik magis soal HAM. Sehingga, selalu diperbincangkan di ruang-ruang publik melalui diskusi kritis dan di setiap pergantian rezim pemerintahan. Apalgi, dalam suasana pilpres seperti saat ini.
Secara norma hukum, peraturan perundang-undangan berkembang pesat dengan hadirnya sejumlah peraturan dan norma HAM, dimuat dalam konstitusi: UUD Negara RI 1945.
Pelbagai regulasi dan kebijakan bernuasa HAM, dihasilkan seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM termasuk UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang memayungi mekanisme nonjudisial, tetapi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada Desember 2006.
Sayangnya, semua rezim pemerintahan di era reformasi telah gagal menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
Secara teoritis, istilah ”pelanggaran HAM berat” tidak dikenal dalam literatur terkait kasus pembunhan massal 1965-1966, kasus Talangsari, penembakan misterius, kasus Mei dan lain-lain yang telah diselidiki melalui KPP-HAM Komnas HAM yang saat ini ada 10 kasus belum dituntaskan.
Pelanggaran HAM berat hanya dikenal dalam term studi HAM internasional dari terjemahan ”gross violation of human rights”, bukan hukum pidana internasional sebagaimana dimaksudkan kasus diatas yang dikenal dalam International Criminal Court dengan istilah “extra ordinary crimes” atau “the most serious crimes”, yang jenis kejahatannya berupa kejahatan genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (crime of aggression).
Dari sisi peristilahan saja, saya menangkap kesan sejak awal ada upaya pengaburan, pengabaian, dan ketidakseriusan pemerintah dan DPR dalam perumusan pembentukan undang-undang, apalagi mau melaksanakan penegakan hukumnya kepada terduga pelaku pelanggaran HAM berat.
Di sini pentingnya melacak politik HAM pemerintah bersama DPR, dalam pembentukan perundang-undangan yang terkait dengan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Politik HAM Jokowi
Pasangan Jokowi-JK terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada pemilu 9 Juli 2014, dan dilantik pada 20 Oktober 2014 setelah menyisihkan lawan politiknya pasangan Prabowo-Hatta.
Kini dalam pilpres 2019 keduanya kembali bertarung dalam pertandingan ulang (rematch) dengan pasangan yang berbeda: Jokowi-Ma’ruf melawan Prabowo-Sandi.
Suguhan tanding ulang menarik, karena menyajikan isu usang yang terus digoreng sebagai dagangan politik yakni soal HAM.
Prabowo selalu disematkan sebagai pelaku pelanggar HAM berat dalam kasus penculikan aktivis 1998, tetapi capres petahana Jokowi mendapat cap ”rapor merah” dalam soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM (19/10/2018), karena dinilai tidak serius, lalai dan abai dalam menjalankan tugasnya sebagai Presiden.
Jika kita mundur ke belakang pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014, Presiden Jokowi memberi janji kepada masyarakat, khususnya korban pelanggaran HAM berat dan keluarganya akan menyelesaikan secara berkeadilan pelanggaran HAM berat, yang dituangkan di dalam visi misi Jokowi dan disetorkan ke KPU, sebagai dokumen negara.
Nyatanya, selama 4 tahun lebih masa pemerintahan Jokowi, janji itu hingga saat ini belum ditunaikan. Lalu kita kembali dibuat riuh dengan pemilihan Presiden 2019 saat ini.
Pertanyaan yang dapat diajukan, apa kebijakan hukum (legal policy) pemerintahan Jokowi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat itu?. Menjawab pertanyaan tersebut, dapat didekati dengan:
Pertama, dari aspek regulasi. Pemerintahan Jokowi dengan misi menyelesaikan pelanggaran HAM berat tidak dimasukkan kedalam RPJMN tahun 2015-2019 demikian pula dengan RANHAM pada periode yang sama, sehingga terkesan hanya sebagai misi spekulatif tanpa agenda implementatif yang dapt dukur dari strategi akses terhadap keadilan, SDG’s, atau RANHAM sendiri.
Kedua, dari aspek perilaku. Melalui Kemenkopolhukam selalu mengarahkan penyelesaian pelanggaran HAM berat dengan upaya membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN) pada pertengahan 2018 tetapi ditolak oleh korban dan keluarganya juga para aktivis HAM. Pola ini tidak memiliki payung hukum yang kuat karena UU No. 26 Tahun 2000 memandatkan adanya payung hukum berupa undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi (UU KKR) sesuai Pasal 47 UU Pengadilan HAM.
Seharusnya UU KKR baru segera dibentuk setelah dibatalkan MK jika menempuh mekanisme nonjudisial dan sesuai dengan standar internasional; dan
Ketiga, dari aspek politik. Sejak awal memang penuntasan pelanggaran HAM berat dimasa lalu tidak diagendakan pemerintahan Jokowi walaupun menjadi janji bombastis saat kampanye pilpres 2014 lalu, sebagaimana disampaikan Andi Widjajanto (20/8/2014) sebagai deputi tim transisi Jokowi-JK dan lebih menitikberatkan soal kesejahteraan rakyat dan infrastruktur.
Keengganan politik itu juga nampak dari pernyataan tenaga ahli utama kantor staf Presiden, Ifdal Kasim, yang membandingkan dengan pemerintahan Gusdur yang jatuh karena mencoba mengungkap pelanggaran HAM berat masa lalu dan lebih mengutamakan stabilitas dibanding menyelesaikan kasus HAM.
Ini menunjukkan adanya tekanan politik besar ke Presiden dan mengerdilkan kuasa dan wewenang jabatan sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Artinya, Presiden sendiri tidak memiliki kuasa atas tugas dan wewenangnya dalam penegakan hukum dan keadilan bagi korban sebagai kewajiban negara yang wajib dilaksanakan.
Memosisikan Prabowo
Kelemahan terbesar Prabowo dalam kontestasi pilpres adalah soal isu HAM yakni kasus penculikan aktivis prodemokrasi pada 1998, yang masih hilang hingga saat ini.
Kasus itu terus dieksploitasi pada momentum politik dan menghilang seiring usainya pilpres dan akan muncul kembali pada momen yang sama.
Hasil penyelidikan KPP HAM-Komnas HAM pada 30 Oktober 2006 disimpulkan adanya pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, penganiayaan dan penghilangan secara paksa yang sebagian dari perbuatan di atas dilakukan oleh kelompok tim mawar Kopassus di bawah kendali Prabowo.
Ia akhirnya diputuskan bersalah oleh DKP, dan diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan.
Namun kasus ini belum ada sidang pengadilan HAM yang memutuskan apakah Prabowo terlibat dan bersalah, seperti yang distigmakan selama ini yang akhirnya menjadi liar kemana-mana dan tanpa penyelesaian tuntas.
Dilihat dari visi misi soal HAM pasangan Prabowo-Sandi memang terkesan dihindari dan sama sekali tidak disinggung apalagi membangun strategi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
Jika Prabowo memang bersih dan tidak terlibat dalam kasus penculikan mestinya diklarifikasi ke publik secara terbuka, dan berani menghadapi serta mendorong persidangan pengadilan HAM tersebut. Semakin dia menghindari, maka publik akhirnya bisa memercayai keterlibatannya.
Jakarta, 17 Januari 2019
Syamsuddin Radjab
(Dosen Hukum Tata Negara UIN Alauddin, Makassar; Ketua PBHI 2007-2010)