Kamis, 19 Januari 2023 20:25
Editor : Usman Pala

RAKYATKU.COM -- Sendiri atau bersama, ide itu harus diwujudkan. Patut diakui, tidak semua ide, bisa kita eksekusi sendiri. Kadang butuh kolaborasi, butuh jejaring, butuh campur tangan orang lain, untuk bisa melaksanakannya. Kisah yang jadi judul tulisan ini pun begitu.

 

Di tahun 2014, saya punya ide membuat gerakan 1000 taman bermain. Ide ini diposting di beranda akun Facebook saya. Saya memang punya kebiasaan membuat catatan sederhana untuk merekam ide-ide saya. Saya punya buku ide, berisi tulisan tangan dan peta pikiran (mind map) seputar ide itu.

Maklum, saya tipikal otak kanan, yang suka corat-coret. Tapi era FB, ide langsung diposting. Sesuai pertanyaan jejaring media sosial karya Mark Zuckerberg itu, "Apa yang Anda pikirkan?"

Baca Juga : Setelah Gelar Senja di Pantai Losari, Satupena Sulawesi Selatan Akan Terbitkan Buku

Syahdan, saya mensosialisasikan gagasan itu, dan sempat diundang wawancara di Radio Fajar FM. Anggota DPD RI, periode 2014-2019, AM Iqbal Parewangi, melalui line telepon merespons ide gerakan 1000 taman bermain, kala itu, yang dinilai positif. Penelepon lain juga mengapresiasi ide tersebut.

 

Singkat cerita, ide itu tak berlanjut. Padahal poinnya sederhana, bagaimana kita memanfaatkan lahan terbatas di lingkungan tempat tinggal atau kompleks dengan membangun taman bermain. Bisa juga memanfaatkan lahan sisa pembebasan, yang tak seberapa luas dan tidak terpakai. Tantangannya, karena perlu mengidentifikasi lahan-lahan itu di tiap kelurahan.

Rumusan taman bermain di sini, di kepala saya, adalah tempat main anak, yang bisa saja hanya berupa ayunan, jungkit-jungkitan atau perosotan. Di lokasi itu ada ruang terbuka, yang hijau, dengan fasilitas pendukung, seperti perpustakaan kecil dan lain-lain. Sumber dana pembangunannya, bisa swadaya masyarakat atau dari CSR (corporate social responsibility) perusahaan yang ada di sekitar situ.

Baca Juga : Teken MoU dengan Satupena Sulsel, Lurah Maccini Sombala Komitmen Kembangkan Literasi Lorong

Ide ini perlahan terlupakan. Namun muncul ide baru, setelah terbit opini berjudul "Lorong" di Harian Fajar (8/5/2014), yang ditulis Prof TR Andi Lolo. Tulisan Guru Besar Sosiologi Universitas Hasanuddin (Unhas) itu, menggelitik saya untuk membuat buku bunga rampai seputar lorong. Tema lorong ini menjadi wacana politik setelah terpilihnya Mohammad Ramdhan Pomanto dan Syamsu Rizal MI, pasangan Walikota dan Wakil Walikota Makassar, periode 2014-2019.

Saya kemudian mengumpulkan semua opini dan artikel yang mengkaji lorong dari berbagai perspektif. Termasuk tulisan Danny Pomanto, sapaan akrab Moh Ramdhan Pomanto, di Tribun Timur (30/10/2014), berjudul "Makassar Future City".

Para penulis yang saya masukkan tulisannya, saya hubungi untuk meminta izin. Saya juga ke redaksi Harian Fajar dan Tribun Timur, untuk melakukan hal yang sama, meminta izin pemuatan tulisan ke dalam buku.

Baca Juga : Koordinator Satupena Sulsel: Menulis Itu Wujud Sikap Kritis dan Kepedulian

Setelah tulisan-tulisan itu disistematikakan menjadi draf buku, mulai terpikirkan bagaimana cara menerbitkannya. Saya teringat teman satu angkatan di Fakultas Hukum Unhas. Namanya Harun Al Rasyid.

Mengapa Harun Al Rasyid? Ya itu karena di pikiran saya, saat itu, teman saya yang pernah jadi Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Fakultas Hukum Unhas, tahun 1990, dan pengurus Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu (IPMIL), tahun 1989 ini, berada di lingkaran DIA, akronim pasangan Danny-Deng Ical.

Saya lalu menghubungi Harun Al Rasyid, Direktur PT Katalis Indonesia yang bergerak di bidang pengembangan SDM dan konsultan marketing politik. Kami bertemu di Starbucks, Mal Ratu Indah (MaRI). Rupanya dia bersama Sakka Pati, sekarang Doktor, adik letting kami di Fakultas Hukum Unhas.

Baca Juga : Satupena Sulsel dan Kelurahan Maccini Sombala Kerjasama Kembangkan Literasi Budaya dan Kewargaan

Dr Sakka Pati merupakan dosen yang berkarier di almamaternya, Fakultas Hukum Unhas. Ada banyak hal yang kami obrolkan, tapi poinnya adalah saya menawarkan ide pembuatan buku, dan tentang gerakan 1000 taman bermain yang lama mengendap.

Soal ide pembuatan buku, tidak mudah saya komunikasikan, karena akan mendokumentasikan satu produk janji politik dari Danny-Deng Ical. Apalagi Danny Pomanto sering merepresentasikan dirinya sebagai anak lorong na Makassar. Ide tentang gerakan 1000 taman bermain itu yang agak alot lantaran harus dibahasakan lebih sederhana tapi visioner.

Kepada Harun Al Rasyid dan Sakka Pati, saya sampaikan bahwa ide besar dari gerakan 1000 taman bermain adalah Kota Layak Anak (KLA). Saya kemukakan, konsep KLA itu berawal dari penelitian Kevin Lynch, seorang arsitek dari Massachusets Institute of Technoligy di 4 kota. Yakni, Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico City. Penelitian tentang Childrens Perception of the Environment ini jadi cikal bakal lahirnya gagasan KLA, yang dimotori UNESCO, UNHABITAT, dan UNICEF.

Baca Juga : Pengalaman Pertama, Rusdin Tompo Baca Puisi di Resepsi Pernikahan

Eureka. Benang merahnya didapat. Jadi, kami bersepakat akan menyampaikan perlunya menjadikan Makassar sebagai Kota Layak Anak, karena pencetusnya di dunia juga berlatar belakang arsitek, sama dengan Danny Pomanto. Oleh Harun Al Rasyid, saya diajari cara mengkomunikasikan ide itu secara sederhana, lugas, dan memikat.

Hari berikutnya, Harun Al Rasyid dan Sakka Pati, mengajak saya menemui Danny Pomanto untuk menyampaikan dua ide itu: buku dan KLA. Di sela-sela agenda walikota yang terbilang sangat padat, kami akhirnya bisa menemui Danny Pomanto, di kantor arsiteknya di Jalan Lanto Daeng Passewang.

Selepas Magrib, Harun Al Rasyid, Sakka Pati, saya dan Mahmud BM, saat itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar, bertemu Walikota Makassar, Danny Pomanto, di kantornya yang berada satu gedung dengan Kafe Enak-Enak.

Penyampaian kedua ide itu terasa mengalir lancar, setelah Danny Pomanto menyampaikan bahwa di kantornya dia punya kebijakan membolehkan staf-stafnya membawa anak-anak mereka ke kantor.

Satu visi. Itulah titik kesamaan pijak kami, ketika ide tentang buku dan KLA ditawarkan. Meski secara teknis, pada tahap awal, kami diminta berkoordinasi dengan Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kota Makassar dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) soal KLA.

Dalam pelaksanaan deklarasi KLA, selain kedua institusi itu, terlibat pula Dinas Pendidikan Kota Makassar. Sedangkan untuk urusan buku, kami berkoordinasi dengan Badan Arsip, Perpustakaan dan Pengolahan Data Kota Makassar, sekarang Dinas Perpustakaan Kota Makassar.

Buku yang merekam pemikiran para penulis terkait lorong, dan implementasi 8 Jalan Masa Depan yang jadi visi misi Danny Pomanto-Deng Ical, pada masa 100 hari pemerintahannya, akhirnya diluncurkan di Jalan Amirullah, Makassar, pada Jumat, 30 Januari 2015. Selain sebagai kontributor tulisan, saya juga merupakan editor buku berjudul "MasaDPan Makassar, Dinamika Demokrasi dan Pemerintahan" itu.

Sebelumnya, pada Senin, 22 September 2014, dilakukan deklarasi Kota Layak Anak di Lapangan Karebosi, yang merupakan Titik Nol Kota Makassar. Deklarasi ditandai dengan pembubuhan tanda tangan pada prasasti oleh Walikota Makassar, Danny Pomanto, Ketua DPRD Kota Makassar, Rahman Pina, dan sejumlah perwakilan stakeholder.

Usai deklarasi, Ibrahim Saleh, Sekretaris Daerah Kota Makassar, saat itu, mendekati saya sambil berkata, "Saya tahu, siapa di belakang layar acara ini." Komentar itu saya dengar, saat saya baru saja melayani wawancara sejumlah media yang meminta tanggapan atas deklarasi KLA yang dilakukan. Ibrahim Saleh merupakan mitra saya ketika jadi Kepala Dinas Sosial Kota Makassar.

Saya, Harun Al Rasyid dan Sakka Pati memang tidak tampak menonjol selama dan hingga acara selesai. Kami lebih berperan sebagai support system. (*)

Penulis: Rusdin Tompo (Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)

BERITA TERKAIT