Jumat, 11 Maret 2022 17:27
Ince Juana siswi Sekolah Putri Darul Istiqamah ( Spidi) menamatkan hafalan Al- Qur'an 30 Juz di tenda pengungsian
Editor : Usman Pala

RAKYATKU.COM,-- Ini adalah kisah cinta Ince Juana dengan Sekolah Putri Darul Istiqamah (Spidi). Ia sudah mulai jatuh cinta sejak ia menginjakkan kaki di sekolah tersebut. Suasana, lingkungan, fasilitas sekolah yang menurutnya sangat mendukung.

 

Baginya, Spidi adalah pijakan terpentingnya untuk menapaki kesuksesan di masa depan. Bagaimana tidak, di sekolah inilah ia dapat menemukan banyak pelajaran-pelajaran penting untuk modal masa depan yang cerah. Baik itu dari segi agama maupun dunia.

Ince merasa mimpinya menjadi seorang Alimah (berilmu), pewaris Nabi dari kalangan wanita bisa dimulai dari sini.

Baca Juga : Hadirkan Peserta dari Berbagai Negara, SPIDI Gelar Tarhib Ramadhan dari Mekkah

Ia meyakini para guru, kurikulum, fasilitas, dan media penunjang lainnya adalah hal terbaik yang pernah ia dapatkan dalam fase kehidupan pendidikannya.

 

Misalnya pada jurusan tarbiyah yang ia pilih sejak masuk di sini, memiliki guru-guru yang berkualitas sesuai yang ia harapkan. Ia bisa belajar nahwu Sharaf, ilmu kesukaannya dari guru-guru alumni Al-Azhar, universitas impiannya.

Para guru tersebut bukan hanya menginspirasinya secara akademik, namun juga akhlak dan teladan. Baginya, mendapatkan guru yang dapat dijadikan sebagai role model adalah keistimewaan.

Baca Juga : Gelar Tabligh Akbar, Spidi Hadirkan Oki Setiana Dewi

Saat ia merasa banyak teman sebayanya kehilangan figur teladan baik dari orang-orang sekitar hingga mengalihkan dunia mereka pada dunia K-Pop, Hollywood, dan sejenisnya.

Ia percaya, tekadnya dan juga mimpi ayahnya padanya sebagai penghafal Al-Qur'an bisa terwujud di sini. Ia memiliki para ustadzah yang hebat dalam Tahfidz. Buktinya, ia sudah menghafal lebih dari separuh Al-Qur'an meski baru setahun lebih.

Namun awal tahun 2021 kemarin, ia harus menerima kenyataan jika sekolahnya tercinta meliburkan paksa para siswi. Demi menaati kebijakan pemerintah terkait wabah COVID-19 Padahal ia baru setahun lebih sedikit di sekolah itu.

Baca Juga : Kadis Pendidikan Sulsel Apresiasi Aqsha Competition 2021

Ia pulang dengan perasaan sedih, tapi tahu tak ada gunanya marah. Toh, ia yakin belajar bukan soal tempat, namun soal passion. Ia bisa belajar di mana pun jika semangatnya terus terjaga.

Spidi boleh libur, tapi semangatnya tidak!

Namun hari itu di saat sudah mulai betah di rumah, ia lagi-lagi harus menerima kenyataan mengerikan yang tak pernah muncul dalam mimpi terburuknya sekali pun.

Baca Juga : Spidi Gelar Pentas Dakwah dan Seni Bertema Pejuang Revolusi

Kota kelahirannya Mamuju, Sulawesi Barat diguncang gempa. Semua terguncang. Bukan hanya rumah, fisik, namun juga psikis. Semua orang ketakutan.

Awalnya ia ikut terguncang jiwanya. Psikisnya. " Saya teringat selalu rumah yang bergoyang, teriakan manusia ketakutan, orang-orang berlarian menyelamatkan diri, anak-anak menangis, rumah-rumah hancur," kata Ince.

Ia tak ingat lagi tentang sekolahnya. Ia lupa soal impiannya. Ia hanya memikirkan apa sedang terjadi pada dirinya dan pada orang. Di mana mereka bisa makan. Bagaimana mereka bisa bertahan hidup. Gempa susulan terus terjadi.

Baca Juga : Hadiri Wisuda Akbar, Wakil Ketua DPRD Sulsel Sebut Spidi Lahirkan Perempuan Hebat Masa Depan

Namun ia adalah hasil tempaan pesantren. Ia adalah produk ayat Al-Quran yang tak terhitung lagi ia baca. Ia hasil binaan kurikulum shalat tahajud penguat jiwa. Ia hasil gemblengan nasihat dan pengajian di sekolahnya.

Suatu malam saat ayah dan ibunya sudah tertidur di dalam tenda. Ia memperhatikan wajah sang ayah yang sudah mulai keriput. Ia tersentak. Ia melayangkan pikirannya beberapa tahun silam.

"Ayah saya saat itu berucap 'nak, saya jauh lebih bahagia saat mendengarmu telah menghafal Al-Qur'an dibanding mendapatkan uang,' " ucap Ince menirukan perkataan ayahnya.

Ia kemudian kembali teringat mimpi dan cita-citanya. Ia ingat sekolahnya. Ia ingat semua guru-gurunya. Ia ingat teman-temannya. Lalu ia meminta maaf pada dirinya.

Lalu perlahan namun pasti semangatnya pulih kembali. Ia berusaha kembali terhubung dengan sekolahnya lewat sinyal internet. Kembali melakukan kegiatan seperti saat ia berada di sekolahnya. Tak peduli dengan segala keterbatasan fasilitasnya di tenda pengungsian.

Ia mengingat kembali hafalannya yang sudah di penghujung selesai. Ia bertekad kuat. Hingga hari berbahagia itu datang. Disaksikan oleh para keluarga, tetangga sesama pengungsi, dalam tenda pengungsian ia berhasil menamatkan hafalannya 30 juz.

Saat ia sampai pada surah-surah terakhir pada juz Amma. Ia menatap wajah orang tuanya. Ayahnya. Lalu ia tak bisa melanjutkan bacaannya. Tak bisa menahan isak tangisnya. Ia butuh beberapa menit menguatkan perasaannya untuk menyelesaikan mimpinya. Dan Alhamdulillah, finish...!!

Sujud syukur seisi tenda

Kebahagiaannya. Kebahagiaan orang tua dan keluarganya. Kebahagiaan orang di sekitarnya. Tak dapat ia gambarkan. Tak ada yang tak menangis suka cita, haru biru. Seperti sejenak melupakan derita mereka dalam musibah.

Kisah itu lalu ia ceritakan dalam pengantar kegiatan parenting di rumahnya. Yang diadakan oleh sekolahnya. Ia melihat mata semua orang sembab. Ia tahu, kisahnya menarik perhatian orang-orang. Meski ia tak pernah ingin menarik perhatian orang lain padanya.

Kelak, ia akan menceritakan pada anak cucunya untuk menginspirasi mereka bahwa ia adalah alumni Spidi. Yang menamatkan hafalannya 30 juz di dalam tenda derita.

BERITA TERKAIT