Jumat, 18 Februari 2022 16:41
Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, dalam kunjungan ke Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu.
Editor : Nur Hidayat Said

RAKYATKU.COM, JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Ditjen Tanaman Pangan menyampaikan bahwa kondisi kedelai saat ini disebabkan juga kondisi perubahan iklim dunia yang mempengaruhi harga pasar internasional. Memang kedelai saat ini terbatas kondisi produksinya sehingga pemasukan kedelai asal luar negeri menjadi alternatif.

 

"Negara-negara yang selama ini memasok kedelai ke Indonesia, seperti Brasil dan negara Amerika latin lainnya sedang mengalami anomali cuaca sehingga gagal panen. Kondisi itu diperparah oleh terjadinya inflasi di Amerika Serikat yang menyebabkan harga kedelai mengalami lonjakan," jelas Yuris Tiyanto, Direktur Aneka Kacang dan Umbi Kementan, Jumat (18/2/2022).

Yuris mengatakan, Kementan sedang melakukan berbagai upaya untuk membangkitkan kedelai nasional, supaya petani kembali tertarik menanam kedelai. Sebagai informasi, tahun ini Kementan memfasilitasi pengembangan kedelai seluas 52 ribu hektare, dengan anggaran yang terbatas ini diharapkan selebihnya bisa dengan peran berbagai pihak termasuk offtaker.

Baca Juga : Mentan RI Amran Tinjau Lokasi Sebelum Kunker Presiden Jokowi di Bone

Strateginya, salah satunya dengan menggandeng offtaker sebagai avalis pembiayaan. Dengan menggandeng offtaker, maka dimungkinkan untuk menjadi penjamin untuk pembiayaan KUR (kredit usaha rakyat). Seperti halnya yang dilaksanakan di Solo hari Senin (14/2/2022) lalu, Kementerian Pertanian bersama Dinas Pertanian di 14 provinsi lokasi pengembangan kedelai non APBN/KUR, memfasilitasi kegiatan penandatanganan MoU antara perbankan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dengan pihak perusahaan offtaker sebagai langkah pemenuhan target pengembangan kedelai dengan dana KUR tahun 2022.

 

Lahan pertanaman kedelai tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Beberapa lahan tersebut akan berada antara lain di Provinsi Sulawesi Selatan, DIY, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Lampung, Jambi, dan Banten.

"Kita akan tanam di sentra yang sudah ada, kita harapkan produktivitas bisa ditingkatkan, selama ini kuncinya ada di ketersediaan benih. Dengan pengawalan ketat akan dilakukan tanam di lahan kering, sebagian tumpang sisip dengan jagung, tebu dan kelapa sawit sebelum empat tahun," jelas Yuris.

Baca Juga : Mentan Serahkan Bantuan Pertanian Senilai Rp410 Miliar untuk Bencana di Sulsel

Mengenai hal ini, pakar pangan dari Universitas Brawijaya, Sujarwo, mendukung upaya Kementan dalam meningkatkan produksi lokal untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. Terutama yang berkaitan dengan optimalisasi perwilayahan komoditas kedelai dan supporting sistemnya.

"Saya mendukung lebih ditingkatkan program-program pemerintah yang membangun optimalisasi perwilayahan komoditas kedelai dan supporting system-nya. Saya berharap hal ini menjadi riil sebagai buah dari semakin baiknya kelembagaan/korporasi petani," ujar Sujarwo.

Meski demikian, Sujarwo mengatakan perlu adanya analisis yang presisi terkait lahan dan juga pasarnya. Jangan sampai, kata dia, pasar kedelai tidak dijaga sehingga nantinya akan memiliki efek terhadap ketidakpastian harga yang tinggi.

Baca Juga : Indonesia Jalin Kerjasama Teknologi Pertanian dengan Iran

"Dalam hal ini, petani kedelai butuh bantuan pemerintah untuk mengawal produksinya dan membutuhkan lembaga penelitian untuk menghasilkan varietas yang lebih cocok adaptif dengan iklim tropis. Terutama untuk meningkatkan produktivitasnya," katanya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Oke Nurwan, mengatakan harga tahu dan tempe di dalam negeri akan naik karena melonjaknya harga kedelai internasional.

Hal ini terjadi karena kedelai menjadi bahan baku utama dalam memproduksi dua makanan kegemaran masyarakat Indonesia tersebut. “Kondisi kedelai di dunia saat ini terjadi gangguan suplai,” katanya.

Baca Juga : Pj. Gubernur Jateng Apresiasi Mentan Amran atas Solusi Cepat Bagi Petani

Oke mengatakan Brasil terjadi penurunan produksi kedelai. Awalnya diprediksi mampu memproduksi 140 juta ton pada Januari, menurun menjadi 125 juta ton. Penurunan produksi ini berdampak pada kenaikan harga kedelai dunia.

Penyebab lainnya, menurut Oke, yakni inflasi di Amerika Serikat yang mencapai tujuh persen, yang berdampak pada kenaikan harga daripada input produk kedelai. Selain itu, terjadi pengurangan tenaga kerja, kenaikan biaya sewa lahan, serta ketidakpastian cuaca di negara produsen kedelai juga mengakibatkan petani kedelai di Amerika Serikat menaikkan harga.

“Dari data Chicago Board of Trade (CBOT), harga kedelai pada minggu pertama Februari 2022 mencapai 15,77 dolar AS per bushel atau angkanya sekitar Rp11.240 per kilogram kalau di tingkat importir dalam negeri," kata Oke.

Dalam hal ini, diperkirakan harganya akan terus mengalami kenaikan hingga Mei 2022 yang bisa mencapai 15,79 dolar AS per bushel. Selanjutnya, akan terjadi penurunan pada Juli 2022 ke angka 15,74 dolar AS per bushel di tingkat importir.

Baca Juga : Halal Bihalal Kementerian Pertanian, Mentan Amran Bicara Cinta Membangun Pertanian Gemilang

Untuk itu, Oke mengatakan kenaikan harga kedelai dunia itu akan berdampak pada kenaikan harga kedelai di tingkat perajin tahu dan tempe di dalam negeri. “Dan hal ini akan mempengaruhi ujungnya adalah harga produk turunan dari kedelai, yang utama di sini adalah harga tempe dan tahu," ujar Oke. (*)

BERITA TERKAIT