Kamis, 28 Oktober 2021 16:07
Prof. Dr. Mudzakir, S.H., M.H.
Editor : Nur Hidayat Said

RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Saksi ahli, Prof. Dr. Mudzakir, S.H., M.H., menyebut dugaan kasus suap atau gratifikasi Gubernur Sulsel nonaktif, Nurdin Abdullah (NA), sama sekali tidak memenuhi unsur operasi tangkap tangan (OTT) dan gratifikasi.

 

"Posisi Pak NA itu tidak termasuk dalam OTT karena tidak ada bukti telah dilakukan tindakan kejahatan saat itu dan tidak memenuhi unsur OTT," ungkapnya dalam sidang lanjutan NA di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Kamis (28/10/2021).

Ahli Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini mengatakan, operasi itu sudah dirancang sedemikian rupa supaya orang ditangkap dan hal tersebut tidak boleh dalam hukum pidana.

Baca Juga : Nurdin Abdullah Divonis 5 Tahun Penjara, Ini Respons PDIP Soal Jabatan Wagub Sulsel

Menurutnya, kalau orang mengerti ada yang ingin berbuat jahat wajib dia melaporkan kepada aparat penegak hukum, melakukan tindakan pencegahan agara supaya tidak terjadi kejahatan.

 

"Kalau itu kejahatan suap dilakukan pencegahan agar supaya tidak terjadi tindakan pidana suap. Contoh jika ada pembunuhan maka itu harus dicegah agar tidak ada korban. Memang kalau dari pembuktian bunuh dulu baru ditangkap, tapi gampang penegakan hukum. Tapi, rakyat dirugikan. Sama dengan kasus korupsi ditunggu dulu, tapi negara dan rakyat dirugikan," urainya.

Mudzakir menyesalkan adanya OTT. Pasalnya, ada orang berniat berbuat jahat dan dibiarkan terjadi kejahatan. Harusnya, pihak terkait cukup mengingatkan agar tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum atau lakukan tindakan preventif.

Baca Juga : Warganet saat Sidang Vonis Nurdin Abdullah: Anggap Saja Pindah Rumah sambil Nikmati Hasil

"Maka saya menentang OTT karena efeknya negatif di masyarakat. Seandainya menangkap 1.000 orang OTT maka negara dirugikan oleh 1.000 orang itu karena ada orang niat berbuat jahat dibiarkan sehingga terjadi kejahatan," tegasnya.

Berdasarkan bukti-bukti, menurut Mudzakkir dakwaan untuk terdakwa NA soal gratifikasi atau tidak memenuhi syarat. Pasalnya, suap atau gratifikasi salah satu poinnya harus ada deal-deal jabatan atau sesuatu yang mempengaruhi dari pemberian tersebut.

"Kalau dia ngomong jangan kasih saya, tapi berikan ke yayasan saja maka menurut saya itu bukan pidana. Itu sah saja karena itu tidak diterima untuk pribadi atau dirinya saja tapi umum. Ketika mendapat dana dari kontraktor, harus tau kontraktor maunya apa kalau memperoleh keuntungan untuk sosial itu boleh. Itu bagian CSR," tuturnya.

Baca Juga : Mantan Sekretaris Dinas PUTR Sulsel Edy Rahmat Divonis 4 Tahun Penjara dan Denda Rp200 Juta

Sementara itu, penasihat hukum NA, Arman Hanis, menyampaikan sejauh ini dakwaan untuk NA belum memenuhi unsur OTT maupun gratifikasi.

"Sudah dijelaskan apabila tidak diterima langsung dan si penerima tidak mengetahui, maka yang bertanggung jawab adalah orang itu. Dan diterima untuk masjid maka sama saja itu disumbangkan," ungkap Arman Hanis.

"Kami optimis karena fakta persidangan dan ahli jelaskan mirip dengan ilustrasi yang kami sampaikan. Semoga hasil dari persidangan terakhir ahli ini bisa meringankan NA. Dan diharapkan seluruh masyarakat bisa terkabul," tuturnya.

Penulis : Usman Pala