RAKYATKU.COM -- Mutasi yang dilakukan Pemprov Sulsel berdampak besar. Setidaknya bagi UNM, salah satu kampus terbesar di Sulawesi Selatan.
Sebenarnya, mutasi adalah soal biasa bagi seorang pejabat yang notabene adalah bawahan gubernur. Namun, sedikit berbeda dengan Prof Muhammad Jufri, pakar pendidikan UNM.
Dia masuk saat Gubernur Sulsel, Prof Nurdin Abdullah masih aktif. Sesuai kepakarannya, Prof Jufri ditempatkan di Dinas Pendidikan Nasional. Orang-orang menganggap posisi yang sangat tepat.
Belakangan, setelah Nurdin Abdullah nonaktif, Prof Jufri digeser menjadi kepala Dinas Kepariwisataan dan Kebudayaan. Rektor UNM, Prof Husain Syam bereaksi dengan bersurat ke gubernur untuk menarik kembali Prof Jufri.
Baca Juga : Rektor UNM Tarik Kembali Prof Jufri, Ternyata Ini Pertimbangan BKD Geser dari Dinas Pendidikan
Penarikan ini dianggap membangkitkan kembali muruah UNM sebagai kampus pencetak tenaga-tenaga pendidik profesional. Seperti yang dituliskan Akbar Faizal, mantan anggota DPR RI yang juga alumni IKIP (nama UNM dulu), berikut ini:
Yth. Sdr Rektor UNM
Prof.Dr.Husain Syam M.T,
Oleh Akbar Faizal
Anda mungkin tak sadar jika surat permintaan penarikan Prof.Jufri dari jabatan Kepala Dinas Pariwisata Sulsel dalam kapasitas Anda sebagai atasan langsung Prof Jufri sebelumnya di Univ Negeri Makassar (UNM) mengembalikan (sebagian) martabat perguruan tinggi kita. Telah lama saya mengeluhkan perilaku universitas/perguruan tinggi kita yang menyerahkan diri kepada politik praktis. Bahkan dalam banyak kasus, civitas akademika universitas bersedia untuk dihinakan dengan berbagai cara dihadapan para pemilik otoritas bernama pemerintahan dan atau kekuasaan.
Pada level nasional, kita saksikan banyak rektor --khususnya perguruan tinggi bonafide-- berebut menjadi menjadi menteri yang dimulai dengan menjadi tim sukses. Pada level daerah, kaum cerdik cendekia di banyak universitas bahkan bersedia menjadi (hanya) staf khusus atau staf ahli gubernur atau bupati.
Penyikapan Anda pada kasus Prof Jufri yang Anda rekomendasikan dan disetujui gubernur Sulsel menjadi Kepala Dinas Pendidikan dengan tujuan memperbaiki kualitas dan pengelolaan pendidikan di Sulsel namun dipindahkan menjadi Kadis Pariwisata Sulsel adalah ketegasan dan keyakinan pada tujuan. Saya membayangkan betapa banyak yang menyayangkan kenapa Anda harus menghalangi Prof Jufri menikmati jabatan puncak di instansi pariwisata di Sulsel. Jabatan berikut fasilitas sbg Kadis pasti jauh diatas pendapatan rata-rata seorang guru besar yang kira-kira hanya mendapat Rp 27 juta/bulan. Padahal sebagai Kadis saya yakin Prof Jufri pasti bisa menikmati lebih banyak dari itu.
Tapi penyikapan Anda yang tidak biasa ini serasa membangunkan kita semua --terkhusus komunitas Kampus-- untuk kembali menyadari sebuah kesalahan mendasar sebagai seorang intelektual kampus yang, seperti yang saya katakan diatas tadi, sebagai menyerahkan diri kepada politik praktis. Tiba-tiba kita harus merevisi pandangan komunal kita bahwa semua masy kampus menyukai kekuasaan yang bukan area permainannya. Tiba-tiba kita tersadarkan bahwa kita bisa memperbaiki berbagai kerusakan di ruang publik jika kita cukup punya kesadaran dan keberanian spt yang Anda tunjukkan pada kasus Prof Jufri ini.
Saya sungguh bahagia pada penyikapan Anda ini Prof Husain. Dan kebanggaan itu menjalar pada memori panjang saya bahwa saya berasal, besar dan berproses di universitas yang Anda pimpin ini. Saya yakin Anda pasti tidak menyangka bahwa penyikapan Anda ini membangkitkan kebanggaan ratusan ribu alumni UNM yang dulu msh bernama IKIP Ujung Pandang.
Kepada Adinda Prof Jufri, Anda mungkin kehilangan jabatan. Tapi, hari ini, Anda mendapat kehormatan penuh sebagai seorang intelektual.
Saya ingin menulis panjang lebar soal ini. Sebab saya benar-benar bangga. Makanan enak depan saya di Restoran ini tidak lagi menarik buatku. Kehormatan dari proses kecil namun sangat berarti ini jauh lbh nikmat dalam hati dan pikiran saya. Tks Prof Husain dan Prof Jufri.