Kamis, 11 Maret 2021 15:16
Ade Wahyudin
Editor : Alief Sappewali

RAKYATKU.COM - Revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terus diapungkan. Ada sejumlah pasal yang dianggap menghambat kebebasan pers.

 

Sudah banyak kasus wartawan yang dijerat dengan UU ITE. Bahkan ada yang divonis bersalah oleh hakim. Meskipun UU ITE diklaim tidak menyasar pers, faktanya banyak yang jadi korban.

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin mengatakan, sedikitnya lima pasal dalam UU ITE yang dinilai LBH Pers berpotensi menghambat kebebasan pers.

Baca Juga : Kapolda dan AMSI Sulsel Sepakat Perlunya Edukasi Bahaya Hoaks

Pasal 26 ayat (3) tentang penghapusan informasi elektronik, misalnya. Itu berpotensi bertabrakan dengan UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik serta sejumlah peraturan perundang-undangan lain yang menjamin hak publik atas informasi dan kebebasan berekspresi.

 

Menurut Ade, ketidakjelasan rumusan "informasi yang tidak relevan" dalam pasal tersebut, dapat digunakan untuk melanggengkan praktik impunitas kejahatan dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat, korupsi, atau kekerasan seksual.

Itu dapat membuka peluang bagi pelaku termasuk pejabat publik untuk mengajukan penghapusan informasi tersebut, termasuk informasi yang diproduksi pers.

Baca Juga : Tekan Misinformasi, AMSI Gelar FGD Kurikulum Cek Fakta dan Literasi Berita di Makassar

Kemudian, pasal pencemaran nama baik dan penghinaan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3). Ade mengatakan, pasal ini menambah risiko kriminalisasi terhadap wartawan yang melakukan kerja jurnalistik dengan tuduhan pencemaran dan penghinaan.

Ia berpandangan, rumusan pasal itu terlalu luas sehingga kerap digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online, tak terkecuali wartawan.

Ia mencontohkan beberapa kasus wartawan yang terjerat UU ITE Pasal 27 ayat 3 seperti wartawan Mediarealitas.com M Reza yang divonis 1 tahun penjara karena terbukti bersalah usai menulis berita tentang dugaan penyalahgunaan wewenang.

Baca Juga : Warga Bisa Jadi Pewarta, Pengelola Media Online Mesti Jaga Idealisme dan Profesionalisme

"Jika melihat dari kasus-kasus di atas, serangan balik kepada wartawan saat melakukan kerja wartawan sangat nyata. Dan pasal 27 ayat (3) UU ITE menjadi salah satu peraturan yang berkontribusi memuluskan serangan balik kepada kebebasan pers," urai Ade seperti dikutip dari Kompas.com.

Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut meminta supaya UU ITE tidak hanya fokus menyehatkan dunia digital.

Adapun wacana revisi UU ITE digaungkan pertama kali oleh Presiden Joko Widodo saat memberikan arahan pada Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, pada 15 Februari 2021.

Baca Juga : Rumuskan Indikator Kepercayaan Media Digital, AMSI Libatkan Akademisi, Pemerintah, dan Ornop di Makassar

Jokowi meminta revisi UU ITE dilakukan untuk bisa menjamin keadilan pada masyarakat. Permintaan Jokowi tersebut direspons oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo dengan mengeluarkan Surat Telegram yang berisi pedoman penanganan perkara tindak pidana kejahatan siber yang menggunakan UU ITE.

Kemudian Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate menyebut bahwa pemerintah tengah menyusun pedoman interpretasi resmi atas UU ITE.

Namun demikian, dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa, pemerintah dan DPR sepakat tidak memasukkan UU ITE dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.

Baca Juga : Berhadiah Ratusan Juta, Gojek-AMSI Kembali Gelar Penghargaan Karya Jurnalistik Kreasi Pewarta Anak Bangsa

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly beralasan saat ini wacana revisi UU ITE masih dalam pembahasan pemerintah.

BERITA TERKAIT