Senin, 11 Januari 2021 12:46
Juliane Koepcke (www.businessinsider.sg)
Editor : Fathul Khair Akmal

RAKYATKU.COM - Saat itu cuaca buruk. Langit gelap. Juliane Koepcke yang masih berusia 17 tahun, menjadi salah satu penumpang dalam pesawat bersama 90 orang lainnya.

 

Pesawat dari Lima menuju Pucallpa itu, tersambar petir. Akhirnya meledak di langit Peru.

Semua penumpang tewas. Kecuali Koepcke. Padahal, diprediksi tidak ada satupun penumpang yang bakal selamat.

Baca Juga : Viral Video Penumpang Yeti Airlines Live di Facebook Saat Pesawat Jatuh di Nepal

Namun Koepcke muncul. Setelah dia berjalan menyusuri hutan selama 11 hari. Dalam sebuah wawancara dengan Vice News (2010) dan film dokumenter Jerman (2000), Koepcke menuturkan apa yang sebenarnya terjadi di hari yang telah mengubah hidupnya itu.

 

Koepcke dan ibunya naik pesawat tujuan Pucallpa tahun 1971 untuk merayakan Malam Natal bersama ayahnya di sebuah pos pengawas tengah hutan Amazon tempat kedua orang tuanya bekerja.

Rasa senang karena dapat mengejar pesawat sebelum Natal tercampur aduk bersama kecemasan perihal reputasi buruk maskapai yang sebelumnya pernah bermasalah dengan dua kecelakaan pesawat.

Baca Juga : 68 Penumpang Pesawat yang Jatuh di Nepal Ditemukan Tewas, 4 Orang Masih Proses Pencarian

Dalam film dokumenter yang disutradarai oleh Werner Herzog, Koepcke yang kini sudah berusia dewasa terbang kembali ke hutan itu bersama suami dan para kru film. Dia duduk di bangku yang sama, 19F, sebelah jendela, persis dengan apa yang dilakukan tahun 1971.

"Sejak kejadian itu, aku mulai tidak percaya dengan semua pesawat dan pilot, tiap kali terbang, aku merasa gugup dan was-was dengan setiap suara yang terdengar," ujarnya pada kru film.

Koepcke mengingat bahwa segala sesuatu masih sangat normal selama 25 menit pertama penerbangan yang seharusnya tinggal sejam lagi mencapai tujuan. Namun ia mulai menyadari ada yang tidak beres ketika ibunya menjadi gugup saat melihat awan semakin gelap dan turbulensi menguat.

Baca Juga : Heboh, Pria Memakai Kaos Oblong Bersarung Biru Munculkan Uang dari Balik Bantal

"Benar-benar menakutkan. Kami dibawa melayang ke gumpalan awan hitam pekat yang seolah-olah hidup dan menyapu-nyapu badan pesawat," cerita Koepcke dalam film dokumenter tersebut.

Dan tiba-tiba bencana itu menghantam. Badan pesawat terperangkap di tengah-tengah badai besar bersama gemuruh dan petir yang saling bersahutan. Di saat bersamaan, Koepcke melihat petir menyambar salah satu motor pesawat dan ibunya berteriak,

“Berakhirlah sudah!”.

Baca Juga : Pilot Pesawat T-50i Golden Eagle yang Jatuh di Blora Meninggal

Ia kemudian menjelaskan rentetan kejadian berikutnya yang samar-samar teringat tapi masih sangat jelas di beberapa adegan.

“Saya ingat pesawat jatuh lurus ke bawah, dan motornya menimbulkan suara sangat bising sementara orang-orang berteriak,” kata Koepcke kepada Herzog.

“Tiba-tiba saja aku sudah berada di luar pesawat. Aku terjatuh dengan posisi kepala berada di bawah dan sabuk pengaman menekan perut sehingga rasanya sampai tidak bisa bernapas. Waktu itu aku tahu persis apa yang terjadi namun terlalu lama pingsan.”

Baca Juga : TNI AU Beber Kronologi Pesawat Tempur T-50i Golden Eagle Jatuh di Blora

Tidaklah mudah untuk mendapatkan kembali kesadarannya. Koepcke mengalami gegar otak besar, dan kapiler di matanya menonjol akibat tekanan di dalam dan luar pesawat. Ia memang baru saja terjatuh dari ketinggian 10.000 kaki namun sama sekali tidak merasakan sakit.

Kemungkinan besar ia mendarat di atas bangku yang ia duduki karena di tempat itu pula ia terbangun. Dalam film dokumenter tersebut, ia sampaikan tiga penjelasan kenapa sampai bisa selamat dari petaka tersebut.

Selama badai berkecamuk, kadang-kadang angin kencang berhembus ke atas yang mungkin mendorong dirinya dan memperlambat kecepatan jatuh.

Ia mungkin terikat di salah satu ujung bangku dan jatuh berputar-putar ke bawah, alias bukan dalam posisi terjun bebas.

Ketebalan ranting-ranting pepohonan mengurangi efek mematikan selama jatuh dan terperosok ke dalam belantara hutan.

Atau bisa jadi tiga alasan itulah yang secara bersamaan menyelamatkan nyawanya, demikian menurut Koepcke.

“Aku tidak bisa merasakan apa pun. Rasanya seperti terbungkus kapas bola. Susah payah mencoba bangun aku cuma bisa berlutut, kemudian semuanya berubah hitam lagi.”
Kata Koepcke kepada Vice News.

Butuh waktu setengah hari sebelum ia bisa berjalan. Hal pertama yang dilakukan ialah mencari-cari ibunya, bolak-balik beberapa kali di tempat yang sama, namun hasilnya nihil.

Lahir dari sepasang orang tua berkebangsaan Jerman di Lima, 1954, Koepcke menghabiskan banyak waktunya di rimba raya Amazon. Ayahnya, seorang ahli Zoologi, dan ibunya, seorang ahli Ilmu Burung, bekerja di sebuah pos penelitian di tengah hutan.

Koepcke tinggal bersama mereka selama satu setengah tahun sebelum kecelakaan dan justru karena pengalaman hidup bersama kedua orang tuanya yang sangat paham seluk beluk ekosistem itulah yang kelak menyelamatkannya.

Begitu ia kembali mampu berjalan, Koepcke akhirnya menemukan sungai dan mulai mengikutinya. Ia teringat bahwa ayahnya mengajarinya untuk selalu mengikuti aliran sungai jika suatu saat ia tersesat di hutan karena itu akan mengantarkan ke aliran lebih besar dan sangat membantu.

Sembari melanjutkan perjalanan menyusuri aliran sungai di hari ke-empat setelah kecelakaan, ia menemukan tiga mayat penumpang yang masih menyatu dengan bangku mereka. Berhubung tidak berani menyentuhnya, ia meraih kayu dan mencoba memastikan apakah salah satu mayat wanita itu ibunya, dan ternyata bukan.

Sesudah itu, ia melihat pesawat penyelamat terbang melintas. Berkali-kali mencoba minta tolong ke pesawat itu namun ia gagal menarik perhatiannya.

Badan pesawat dan serpihan-serpihannya menghujani hutan Amazon sejauh 5,8 mil persegi. Kru film dokumenter sampai melakukan 3 ekspedisi demi menelusuri jejak-jejak reruntuhan pesawat. Kadang malah butuh waktu berjam-jam menempuh jarak 100 meter.

Kejadian mengerikan ini melahirkan momen evakuasi dan pencarian korban terbesar dalam sejarah Peru, namun tidak ada yang ditemukan. Hutan ini begitu padat sehingga helikopter pun tidak bisa melihat puing-puing pesawat, apalagi seseorang.

Setelah itu, ia memastikan tidak ada yang terlihat dan terdengar. “Aku tahu bahwa aku benar-benar sendirian dan mereka tidak akan melanjutkan pencarian diriku”, ujarnya kepada Vice News dikutip dari keepo.me.

Selama sepuluh hari, Koepcke mengikuti aliran sungai. Kadang ia berenang, berjalan, atau membiarkan dirinya terbawa arus. Sepanjang waktu, ia tidak makan apa pun.

Dalam film dokumenter, ia mengatakan bahwa dirinya tidak lapar namun meminum terlalu banyak air. Satu-satunya makanan yang ia temukan hanyalah sebungkus permen di dekat mayat yang ia lihat, dan sebuah Panettone, semacam roti manis, yang sudah basah kuyup dan berlumpur.

Sewaktu dimakan, rasanya begitu buruk sehingga ia tinggalkan begitu saja di tempat ia menemukannya.

Di hari kesembilan perjalanan menyusuri hutan, Koepcke akhirnya menemukan sebuah gubuk tanpa dinding.

Ia memutuskan bermalam di sana. Keesokan harinya, saat ia berbaring dan mengira bakal mati di sana, tiba-tiba ia mendengar suara. Tiga orang Peru yang sebenarnya tinggal di gubuk itu menemukan dirinya.

 “Orang pertama yang kulihat nampak seperti malaikat.”

Awalnya, orang-orang itu ketakutan saat pertama melihat Koepcke. Sepasang mata perempuan muda yang masih merah itu membuat mereka menyangka bahwa ia adalah roh sungai.

Mereka lalu merawat dan ikut bermalam di gubuk sebelum mengantarkan Koepcke ke desa terdekat, di mana para misionaris lalu membawanya ke rumah sakit.

Koepcke akhirnya pulang ke Jerman untuk melanjutkan studi dan sepenuhnya memulihkan diri dari luka-luka yang diderita.

Film dokumenter itu menggambarkan bagaimana untuk pertama kali Koepcke bersua kembali dengan ‘takdirnya’, namun ia nampak sangat tenang, kata narator.

Menurut sang penyintas ini, ketenangan itu merupakan bagian dari perlindungan diri, mekanisme yang telah dikembangkan demi menjalani kehidupan normal dan harus dibayar mahal sepanjang usia dewasanya.

Menengok kembali ke lokasi kecelakaan rasanya seperti sedang menjalani terapi, demikian penjelasan Koepcke ke Vice News.

“Hal ini benar-benar membantuku secara psikologis. Di sanalah akun menuturkan seluruh kisahku kepada Herzog. Aku benar-benar memusatkan perhatian pada masalah itu, melakukannya dengan baik, sehingga aku benar-benar tidak punya waktu untuk meratapinya.” Katanya.

Kenyataannya, ia juga menyadari tidak pernah menerima bantuan psikologis. "Jika saya tidak berhasil menerima hal itu, akan menjadi masalah bagi saya," katanya kepada Vice News.

Meski berhasil menyintas pengalaman mematikan itu, mimpi buruk terus menghantui Koepcke selama bertahun-tahun. Ada satu mimpi yang sering berulang di mana ia melangkah melalui jalan-jalan kota. Semua nampak normal namun tiba-tiba wajah semua orang menjadi rusak.

Di mimpi lainnya, sebuah ruangan menyimpan semua kupu-kupu yang ada di dunia. Dalam film dokumenter itu, ia mengatakan bahwa seolah-olah semua pesawat di dunia disimpan aman dalam ruangan itu dan tidak akan bisa menyakitinya lagi.

Koepcke juga bicara panjang lebar tentang kematian ibunya. Hubungan mereka sangat dekat dan butuh waktu panjang untuk memahami bahwa seseorang yang biasanya selalu ada sekarang telah hilang selamanya.

Ia telah berhasil menangani kejadian luar biasa dan dramatis yang sekarang membentuk kehidupannya. Namun selalu ada satu ganjalan pemikiran yang ia ungkapkan kepada Vice News.

"Pikiran bahwa kenapa hanya aku satu-satunya yang selama selalu menghantui. Selamany," pungkasnya.

BERITA TERKAIT