Sabtu, 20 Juni 2020 20:03
Hasnan Hasbi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.
Editor : Nur Hidayat Said

RAKYATKU.COM , MAKASSAR- Dugaan korupsi kegiatan sosialisasi, workshop, penyuluhan, pembinaan, pelatihan, bimbingan teknis pada Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) dan OPD kecamatan Kota Makassar TA 2017 terus bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Makassar. 

 

Kasus ini mengadili mantan Camat Rappocini, Hamri Hayya, sebagai terdakwa. Dalam sidang lanjutan yang dilaksanakan Kamis (4/6/2020), mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Makassar, Erwin Hayya, memberi kesaksian secara virtual. 

Dalam kesaksiannya itu ia menyebut aliran dana dari camat-camat di Kota Makassar ke terdakwa Hamri Hayya. Dana dari camat-camat atau cashback kegiatan sosialisasi yang dikenal dengan kasus fee 30% diserahkan terdakwa ke Erwin Hayya.

Terkait kesaksian Erwin tersebut, diperlukan keterangan dari camat-camat yang disebutkan Erwin. Hal ini untuk mencari kebenaran dari pernyataan atau keterangan saksi.

 

"Untuk tidak memisahkan kronologis suatu tindak pidana maka seseorang yang dianggap berperan dalam suatu rangkaian kejahatan maka harus didengarkan keterangannya," kata Hasnan Hasbi, dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Sabtu (20/6/2020).

"Tujuannya untuk memberikan kejelasan dari sesuatu yang sedang digali kebenarannya. Juga untuk memberikan stigma positif bagi nama yang disebut agar mengklarifikasi penyebutan namanya," bebernya. 

Hasnan menambahkan, jika Jaksa Penuntut Umum (JPU) ingin membuat terang keterangan saksi Erwin Hayya, maka para camat harus dihadirkan.

"Jika jaksa tidak ingin mengaburkan dakwaannya terhadap terdakwa maka dia menghadirkan pihak-pihak yang disebut dalam persidangan agar rangkaian peristiwa. Jika hakim yang meminta jaksa untuk menghadirkan maka hakim menganggap ada peran seseorang yang ingin dikonfrontir untuk mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya dari sebuah peristiwa," tambahnya.

Sebaliknya, tambah Hasnan, jika pihak-pihak yang disebut dalam rangkaian kejahatan tidak dihadirkan dalam persidangan, maka akan menimbulkan celah hukum.

"Sebab jika yang disebut namanya tidak dihadirkan maka bisa menjadi celah hukum penasihat hukum terdakwa untuk membantah dakwaan JPU," jelasnya.

Terkait keterangan saksi Erwin tersebut, Kasi Penkum Kejati Sulsel, Idil mengatakan camat-camat sebelumnya telah hadir di persidangan. "Semua camat sudah dihadirkan JPU," tutur Idil.

Saat dikonfirmasi sidang lanjutan untuk mengkonfrontir keterangan Erwin Hayya dengan para camat, Idil enggan memberi komentar.

Pada sidang Kamis (4/6/2020) yang oleh Daniel Pratu sebagai Hakim Ketua, Erwin Hayya mengatakan bahwa cashback kegiatan sosialisasi yang diterima oleh semua kecamatan merupakan inisiatif darinya saat itu. Di mana uang dari camat-camat tersebut selanjutnya disetor ke terdakwa Hamri Hayya.

"Inisiatif saya dan saya sudah sampaikan ke terdakwa kalau ada yang setor tolong diterima dan ia mengiayakan," ungkapnya dalam persidangan.

Setelah uang cashback dari beberapa kecamatan berhasil dikumpulkan, selanjutnya  terdakwa menyerahkannya secara bertahap ke Erwin Hayya. 

"Dari camat-camat terdakwa serahkan langsung ke saya semuanya. Utuh ke saya atas perintah saya tanpa perintah orang lain," sebutnya.

Ia berdalih, dana cashback yang diambil dari anggaran kegiatan sosialisasi untuk beberapa kecamatan tersebut, merupakan inisiatif pribadinya agar pembahasan APBD Makassar yang sedang berjalan bisa berjalan mulus di DPRD Makassar.

Dalam perkara ini, JPU mendakwa Hamri Hayya bersalah telah melanggar pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 ayat (1), jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.

TAG

BERITA TERKAIT