Minggu, 16 Februari 2020 04:00
Suharto dan Ursula Kusmidiarti. (Foto: Facebook Suharto dan Ursula Kusmidiarti)
Editor : Nur Hidayat Said

RAKYATKU.COM - Mungkin tak banyak pasangan suami istri yang menikah beda agama dan bisa langgeng menjalin rumah tangganya.

 

Seperti pasangan Suharto dan Ursula Kusmidiarti yang kini tinggal di Adelaide, Australia Selatan.

Pasangan asal Indonesia ini merayakan ulang tahun pernikahan ke-50 mereka pada 2019. Suharto masih tetap memeluk agama Islam sampai sekarang, sementara Ursula juga tetap beragama Katolik.

Mereka meninggalkan Indonesia pada 1969 bukan karena menghindari negeri tersebut karena perbedaaan agama.

 

Menurut mereka, kunci keberhasilan membina pernikahan yaitu dengan menggangap perbedaan bukanlah hal yang perlu dipersoalkan.

Selama 50 tahun terakhir, rumah mereka di kawasan Holden Hill malah menjadi rumah yang terbuka bagi siapa saja untuk warga Indonesia maupun yang lain.

Suharto menikahi Ursula pada 19 September 1969 di Madiun (Jawa Timur), hanya beberapa bulan sebelum Suharto yang ketika itu berusia hampir 30 tahun pindah ke Australia.

"Rencana saya ketika itu untuk pindah ke Australia sudah lama, karena saya ingin merasakan tinggal di negara lain. Ketika saya menjelaskan rencana kepindahan tersebut, orang tua mengatakan sebaiknya saya menikah dulu," kata Suharto (80) kepada ABC.

Suharto sebelumnya sudah lama mengenal Ursula, karena Suharto ketika sekolah beberapa tahun di Malang, tinggal di rumah nenek Ursula.

"Saya sudah mengenal banyak keluarga lainya di Madiun, dan kemudian ketika saya pindah ke Jakarta, saya bertemu lagi Ursula, yang beberapa tahun lebih muda, dan kemudian kami lebih dekat," tuturnya.

Suharto mengatakan upacara pernikahan mereka dilangsungkan dua kali. "Waktu itu tidak ada masalah soal agama. Kita kawinnya lewat cara Islam dan kemudian cara Katolik di gereja. Dua kali upacaranya," kata Pak Harto, panggilan akrabnya.

Setelah pernikahan tersebut, dia juga tidak pernah mempertentangkan perbedaan agama dengan istrinya.

"Kita tidak pernah bicara soal agama. Antara keluarga pun biasa saja. Di rumah sama anak-anak biasa saja."

"Saya tidak prnah bersikeras mengenai masalah agama. Dia ke gereja tetap ke sana, saya juga tetap ke mesjid sampai sekarang."

Suharto mengatakan kepindahan keluarga barunya ke Australia bukanlah disebabkan karena perbedaan agama tersebut.

Suharto di tahun 1960-an sudah bekerja di perusahaan bernama Hutama Karya dan setelah beberapa tahun merasa bahwa karirnya di perusahaan tersebut tidak akan berkembang hebat karena jenjang karir yang terbatas.

Suharto pada awalnya menulis kepada sekitar 20 negara untuk menyatakan keinginannya tinggal di luar, namun pilihan pertama tersebut tidak termasuk Australia.

"Kebetulan di Hutama Karya waktu itu ada Pak Subagio yang menyarankan untuk pindah ke Australia, dan banyak membantu kepindahan saya ke Adelaide," katanya.

Dalam perjalanan pernikahan, pasangan Suharto-Ursula dikarunia dua anak, Sonny yang lahir di tahun 1974 dan Ade di tahun 1978.

Keduanya dibesarkan dalam acara Katolik, dan Suharto juga mengatakan semuanya demi kepraktisan.

"Semua agama itu baik adanya. Di tempat kami tinggal di Adelaide, banyak sekolah Katolik yang bagus. Jadi mereka disekolahkan di sana. Juga waktu itu orang Islam di Adelaide sangat sedikit sekali," katanya.

Ketika tiba di Australia di awal tahun 1970-an Suharto tidak menngalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan.

"Cari kerja gampang sekali, kerja apa saja tersedia asal mau. Ketika tiba pertama kali di Sydney saya dapat 3 pekerjaan," katanya.

Sebelum ke Australia, Suharto sudah mengajukan lamaran ke sekitar 10-15 perusahaan di Australia dan mendapat jawaban diterima di sebuah perusahaan pembuat biskuit Arnotts yang juga memiliki pabrik di Adelaide.

Bila perbedaan agama dalam kehidupan kadang menimbulkan masalah, bagi keluarga Suharto boleh disebut membuat rumah mereka menjadi tempat dimana masyarakat Indonesia dari berbagai latar belakang agama dan etnis sering berkumpul.

Ini salah satunya disebabkan karena selain bekerja, Suharto juga banyak terlibat dalam organisasi kemasyarakatan yang ada di Adelaide.

Salah satunya adalah AIA (Australian Indonesia Association), perkumpulan persahabatan warga Indonesia dan Australia.

"Sejak kecil saya sudah terbiasa melihat ayah saya bergaul dengan banyak orang. Rumah kami di Madiun 24 jam terbuka untuk siapa saja. Ayah saya dulu adalah Ketua PNI (Partai Nasional Indonesia) Karesidenan Madiun. Dia juga banyak membina tim olahraga voili, bulutangkis dan yang lain," kata Suharto.

Dengan kebiasaan itu, Suharto juga memberlakukan hal serupa bagi rumahnya di Adelaide, yang selalu menyelenggarakan Open House dua tahun sekali, Lebaran dan Natal.

"Saya ketularan ayah saya. Pernah saya kedatangan seorang anak dari Kalimantan yang kesasar mau ke Sydney malah sampai ke Adelaide. Dia menginap di rumah dan besoknya saya antar lagi ke bandara," kata Suharto.

Sesampainya di Adelaide, Suharto juga kemudian terlibat dalam kegiatan AIA bahkan sejak hari pertama di sana.

"Saya senang sekali bisa terlibat dalam kegiatan di AIA dan saya ketua paling lama di AIA berapa puluh tahun saya jadi ketua," tambahnya.

Sumber: ABC Indonesia

TAG

BERITA TERKAIT