Sabtu, 25 Januari 2020 12:30
FOTO: Emma Francis / Al Jazeera
Editor : Andi Chaerul Fadli

RAKYATKU.COM - Para pengunjuk rasa di Baghdad, Irak bentrok dengan polisi. Mereka mengindahkan ulama Syiah Muqtada al-Sadr yang berpengaruh untuk berpartisipasi dalam pawai jutaan orang.

 

Sadr, kepala Sairoon, blok koalisi terbesar di parlemen, telah memanfaatkan meningkatnya ketegangan regional setelah Amerika Serikat membunuh jenderal militer Iran Qassem Soleimani di Irak, dikutip dari Aljazeera, Sabtu (25/1/2020).

Serangan drone militer AS pada 3 Januari juga menewaskan Abu Mahdi al-Muhandis, seorang komandan Irak dari milisi Hashd al-Shabi yang pro-Iran (juga disebut Pasukan Mobilisasi Populer atau PMF).

Ketika seruan untuk mengakhiri gangguan semakin keras, parlemen Irak pada 5 Januari mendukung resolusi tidak mengikat untuk semua pasukan asing, termasuk 5.200 tentara AS untuk meninggalkan negara itu.

 

"Protes hari ini adalah referendum yang diserukan oleh rakyat Irak yang menganggap kehadiran pasukan AS di negara itu berbahaya bagi mereka dan bagi kawasan itu," kata pegawai negeri sipil Asad al-Hashemi kepada Al Jazeera.

"AS adalah alasan korupsi dan semua kemalangan kita."

Dia mengatakan kehadiran AS memicu perbedaan pendapat dan meningkatkan kemungkinan orang "bertindak menentangnya di medan kita, sehingga mengubah Irak menjadi medan perang yang sedang berlangsung untuk bersaing kepentingan geopolitik.

"Kami ingin merebut kembali kedaulatan kami."

Pada hari Rabu, Presiden Irak Barham Saleh bertemu Presiden AS Donald Trump di sela-sela Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss.

TAG

BERITA TERKAIT