RAKYATKU.COM - Menko Polhukam, Mahfud MD menanggapi ramainya isu Muslim Uighur China.
Menurut Mahfud, Indonesia sejak dulu menjadi penengah dan berupaya mencarikan solusi terbaik terkait isu tersebut.
"Itu Bu Menlu sudah melakukan langkah-langkah ya. Kita punya jalan diplomasi lunak sejak dulu, kita menjadi penengah dan mencari jalan yang baik, bukan konfrontatif gitu ya. Oleh sebab itu, nanti Bu Menlu sudah bukan menyiapkan karena kasus lama ya. Kita sudah sering," kata Mahfud, Kamis (19/12/2019).
Berbagai organisasi keagamaan di Indonesia kata Mahfud, juga ikut berperan untuk mencari jalan tengah. Meski begitu, Indonesia menurutnya harus mengetahui terlebih dahulu apa sebenarnya yang terjadi di Uighur.
"Kemudian dari kelompok masyarakat ada Majelis Ulama, Muhammadiyah, MUI, sudah ke sana, dan sebagainya. Kita cari jalan yang baik lah, kita tidak bisa mendiamkan peristiwa itu. Tapi juga kita harus tahu masalah yang sebenarnya," bebernya dilansir Detikcom, Rabu (19/12/2019).
Mahfud menilai Indonesia harus lebih objektif dalam memandang konflik. Menurut Mahfud, tidak semua muslim di China mengalami hal yang sama dengan muslim di Uighur.
"Karna di China itu kawasan muslim kan banyak juga, bukan hanya Uighur, saya pernah ke Beijing. Pernah ke tempat lain aman-aman aja tuh, tapi kalau di Uighur terjadi begitu ada apa?," tegasnya.
"Kita haus mencoba lebih objektif melihat seluruh persoalan itu dan untuk itulah maka nanti Ibu Menlu melalui diplomasi lunaknya, bebas aktifnya itu akan melakukan langkah-langkah yang baik untuk kebaikan umat manusia," sambung Mahfud.
Sebelumnya, pihak Republik Rakyat China (RRC) menepis tudingan bahwa mereka membayar ormas Islam agar tidak mengkritik soal kondisi muslim Uighur di Xinjiang. RRC menyatakan konstitusi negara mereka memberi jaminan kebebasan agama dan kesetaraaan tiap warga negara.
"Tiongkok merupakan negara multietnik dan multiagama. Undang-undang Dasar maupun hukum Tiongkok memberikan perlindungan seutuhnya untuk menjamin kesetaraan antar-etnik, kebebasan beragama dan kepercayaan, serta hak asasi manusia (HAM)," demikian keterangan yang disampaikan Kedutaan Besar (Kedubes) RRC.
Dia mengatakan pemerintah RRC menjamin hak dasar dan untuk berkembang 25 juta warga Xinjiang dari berbagai etnik. Namun dalam kurun 1990-2016 terjadi ribuan kasus kekerasan dan terorisme di Xinjiang.
Kasus tersebut melibatkan serangan bahkan pembunuhan terhadap banyak warga tidak berdosa, termasuk warga Muslim Uighur dan pemuka agama. Sehingga Pemerintah Daerah Otonom Xinjiang mengambil serangkaian tindakan hukum untuk memberantas kekerasan, terorisme, dan melakukan program deradikalisasi. RRC mengklaim langkah tersebut berhasil.